Hanya Untuk Kepuasan Jiwa...

"Jika Anda ingin mengenal Dunia, maka Membacalah. Dan jika Anda ingin Dunia Mengenal Anda, maka Menulislah"
Sesuatu yang paling membahagiakan bagi jiwa ini adalah ketika dapat mengeluarkan segala potensi yang dipunya. dan menulis adalah salah satu sarana dalam mengeksplorasi kemampuan dengan mencatat segala pengalaman yang didapat agar bertambah ilmu yang dimiliki...
semoga tulisan ini dapat selalu menjadi manfaat minimal bagi diri sendiri dan bagi pembaca yang lain..

Jumat, 08 Maret 2013

Cinta : Kau Dapat Ubah Segalanya



Cinta : Kau Dapat Ubah Segalanya

Namanya Mia. Dia duduk di kelas sepuluh saat aku siap-siap menghadapi Ujian Akhir Nasional Sekolah Menengah Atas.  Dia gadis yang manis. Entah mengapa sejak pertama bertemu di perpustakaan saat itu, aku selalu memikirkannya. Rasa-rasanya, aku telah menaruh hati kepadanya. Namun, ada masalah yang membuatku sulit untuk mengenalnya lebih dekat.  Mia anak yang populer di kelasnya, selain parasnya yang menawan, prestasi akademiknya pun mantab. Dia juara di kelasnya. Itulah yang membuat banyak teman-teman pria bahkan kakak kelas saling berebut cari muka kepada Mia, berharap ada perhatian lebih yang mereka dapatkan dari gadis yang satu ini. 

Sedangkan aku? Aku hanya seorang lelaki berumur delapan belas tahun yang berkacamata agak tebal. Seorang yang setiap harinya berpakaian rapi dengan ujung baju dimasukkan dalam celana bersabuk, rambut tersisir mulus ke samping dengan balutan minyak yang kelemis. Bagi kebanyakan gadis, aku bukan tipe lelaki impian untuk diajak jalan. Aku terkesan keluar dari pergaulan kebanyakan remaja lainnya. Membaca buku saat pelajaran kosong, pergi ke kantin sejenak lalu meluncur ke perpustakaan untuk menghabiskan jam istirahat menjadi rutinitas harianku di sekolah.

 Aku juga tipe orang yang terlalu malu untuk mengungkapkan ekspresi dan perasaan. Sebenarnya, sejak kelas lima sekolah dasar, aku bercita-cita sebagai seorang penulis. Aku suka menulis cerita pendek di buku kecilku yang selalu kukantongi di saku baju sekolah. Sudah ada beberapa cerita pendek sudah kubuat, namun aku tak pernah berani untuk mengirimkannya ke redaksi sekolah untuk diterbitkan. Aku terlalu rendah diri, dan menganggap semua tulisanku buruk dan tidak layak terbit, bahkan bila perlu aku harus mengubur dalam-dalam impianku sebagai penulis. Hingga suatu ketika gadis manis itu datang dan  memercikkan api keberanian dalam diriku.

“Apakah aku boleh duduk di sini?” Dia berdiri di sampingku dengan membawa sepiring nasi goreng  di tangan kanan dan segelas es kopyor di tangan kiri. Aku yang akan memasukkan suapan ke tiga nasi pecel ke dalam mulutku, menolehkan kepala. Dan, betapa tertegunnya aku saat ku tahu kalau Mia-lah pemilik suara itu. Ya Tuhan, dia gadis yang selama ini ada dalam pikiranku. Untuk beberapa saat aku seperti orang yang terkena totok, tak bisa melakukan apa-apa, persendianku lunglai, jantungku berdegup lebih kencang, bibirku kelu.

“Maaf, apakah aku boleh duduk di sini? Soalnya semua bangku sudah ditempati.” Mia kembali bertanya, aku yang ditanya menampakkan ekspresi gelagapan. 

“Emm, jika ingin duduk, silahkan ijin ibu kantin saja.” Dalam gugup aku berusaha bercanda mencairkan suasana hatiku yang kikuk. Tapi, oh Tuhan, apa yang baru saja kukatakan? Aku baru sadar kalau aku bukan tipe orang yang memiliki selera humor yang bagus. Tapi diluar dugaan, Mia benar-benar mengikuti saran bodohku ini.

“Oh, memangnya harus ijin ibu kantin terlebih dahulu ya? Baiklah.” Mia melangkah pergi ke arah ibu kantin setelah meletakkan piring nasi goreng dan segelas es kopyornya di atas meja. Lalu kulihat Mia berbisik-bisik dengan ibu kantin sambil menunjuk bangku di sebelahku dengan jari telunjuk kanannya. Ibu kantin mengangguk sembari tersenyum. Mia melangkah kepadaku, untuk beberapa saat aku lagi-lagi seperti orang yang terkena totok. Diam.

“Aku sudah ijin ke ibu kantin untuk duduk di bangku ini, dan beliau mengijinkan.” Mia tersenyum simpul melihatku. Aku yang dilihat menundukkan kepala. Malu. Selera humorku memang buruk. Mia memulai suapan pertamanya, aku meliriknya sekilas, dia sangat cantik dan cara makannya anggun. Berada sedekat ini dengan Mia adalah kejadian langka dan sulit untuk terulang kembali. Maka kukumpulkan segenap keberanianku untuk menyatakan perasaanku kepadanya. 

“Emm, Mia...” Aku meremas-remas jariku yang basah oleh keringat.

“Iya? Kakak tau namaku? Apakah kita pernah kenal sebelumnya?” Mia menghentikan suapan ketiganya, menatapku penuh selidik. Mia benar, kita belum saling kenal. Selama ini, hanya aku yang mencari tahu tentang Mia, rumahnya, tanggal lahirnya sampai makanan kesukaannya. Tapi dia kan belum kenal aku? Aku merutuki diriku dalam hati, menyesali perkataanku barusan. Aku seperti berkelahi dengan waktu, pikiranku berputar-putar dengan cepat mencari jawaban yang logis. Jangan sampai Mia tahu kalau selama ini diam-diam aku mencari tahu tentang dirinya.

“Emm, emm, aku tahu namamu dari badge di bajumu.” Aku menyeka peluh di dahi.

“Oh, iya. Ada apakah? Tadi sepertinya mau menyampaikan sesuatu kepadaku?” Mia sempurna menghadapkan wajahnya kepadaku, membuat persendianku kembali lunglai. Bibirku kembali kelu. Tapi aku harus mengungkapkan perasaanku selama ini kepadanya.

“Emm, nasi gorengnya enak?” Hanya itu yang dapat kukatakan kepadanya

***

Jam sekolah usai bersamaan dengan bunyi bel yang berdering tiga kali di luar kelas. Aku memasukkan buku pelajaran ke dalam tas. Kurapikan baju dan kacamataku, lalu berdiri melangkah ke luar kelas. Namun, tiba-tiba kulihat Mia berdiri di samping pintu kelasku. 

“Sepertinya ini milikmu. Aku menemukan ini di bangku kantin, tadi.” Tangan Mia menyodorkan buku kecil milikku yang biasa kubuat untuk menulis cerita pendek. Aku raih buku kecilku, lalu ku ucapkan terimakasih kepadanya.  

“Oh, iya. Kumpulan cerita pendek kakak bagus-bagus. Kenapa tidak dikirimkan saja tulisan –tulisan itu ke buletin sekolah.” Mia berbicara di depanku, aku mengangkat pandangan, mengernyitkan dahi, bingung. Benarkah tulisanku bagus dan layak untuk diterbitkan?

“Iya, tadi aku sempat membaca beberapa tulisan kakak. Ceritanya bagus-bagus, aku tidak menyangka kalau ada laki-laki yang bisa menulis cerita sebagus itu. Akan lebih bagus lagi jika diterbitkan. Aku suka dengan seseorang yang pandai menulis, dan aku senang sudah menjadi orang pertama yang membaca tulisan-tulisan kakak.” Mia tersenyum kepadaku. Aku membetulkan kacamata, lalu pergi setelah ku ucapkan terimakasih untuk yang kedua kali kepadanya.

Wahai, apakah kalian pernah mendengar bahwa cinta dapat merubah segalanya?  Cinta dapat merubah yang kikir menjadi dermawan, yang kasar menjadi halus, dan yang lemah menjadi kuat. Aku telah merasakannya. Setelah pertemuanku dengan Mia di depan pintu kelas itu, dan dia mengatakan bahwa tulisanku bagus, seketika itu pulalah aku dapat memupuskan rasa minder yang terjaring akut di dalam tubuhku, lalu menggantinya dengan percikan percaya diri untuk menggapai cita-citaku menjadi penulis. 

Besoknya, aku beranikan diri untuk mengirimkan beberapa tulisanku ke redaksi jurnalis sekolah. Perasaan luar biasa bahagia memancar dari dalam hatiku saat dua minggu kemudian tulisanku di terbitkan di buletin sekolah. Sejak saat itulah sejarah kepenulisanku dimulai. Setelah lulus sekolah, aku mencoba menulis beberapa cerita untuk diterbitkan menjadi buku, kemudian setahun setelah terbit, beberapa novelku menjadi best seller dipasaran. Dan, akhir-akhir ini aku sering diundang di berbagai seminar kepenulisan.

Sayangnya, aku tidak bisa menunjukkan keberhasilanku secara langsung kepada Mia. Sebab dua bulan sebelum aku menghadapi ujian akhir, Mia pindah sekolah ke luar pulau, ikut orang tua yang dipindahtugaskan oleh kantor tempat ayahnya bekerja. Kepergiaanya yang mendadak, membuatku tidak bisa mengantarkannya pergi walau hanya sekedar mengucap selamat tinggal. Sampai saat ini aku benar – benar kehilangan kontak dengannya. Tapi dimanapun dia berada, aku ingin berterimakasih kepadanya, sebab berkat dialah aku termotivasi untuk bisa menggenggam cita-cita ini. 


Surabaya, 07 Maret 2013
11.00 pm
















Rabu, 06 Maret 2013

Aku Ingin Pulang


Aku Ingin Pulang

“...kadang kau mencari kebahagiaan di berbagai tempat, padahal dia ada persis di depan matamu...” (Pepatah Bijak)

Saat ini, aku berada di salah satu kota terindah di dunia, namun aku hanya ingin pulang. Tawaran pemandangan Menara London, Tower Bridge, Benteng Windsor, dan Thames River, yang mempesona tidak membuatku merasakan kebahagiaan. Aku hanya ingin pulang. Aku sungguh-sungguh ingin pulang.

 “Kau tak apa-apa, Ben?” Toni menatapku setelah keluar dari kamar mandi hotel. Wajahnya kelihatan segar sekali setelah mandi dengan air hangat.

“Emm, ya, aku baik-baik saja, Ton.” Ku usap lekuk pipiku yang basah oleh bulir-bulir air mata. Toni menatapku sekali lagi, menyambungkan kedua alis matanya, menunjukkan ekspresi penasaran.

“Benar kau baik-baik saja, kawan?” Toni menghempaskan badannya ke sofa empuk, menatap raut mukaku dengan penuh tanda tanya, aku mengangguk lemah.

“Baiklah, jika kau tidak ada masalah, aku mau tidur dulu. Kau juga harus istirahat, Ben. Bukankah besok pagi kau harus menghadiri pertemuan dengan kolega bisnismu? Badanku lemas sekali karena seharian duduk manis di bangku pesawat. Untung saja pramugarinya cantik-cantik. Kau ingat dengan pramugari yang bernama Rausa itu, Ben? Wow, dia manis sekali. Andai tadi aku meminta nomor teleponnya.” Toni tersenyum genit. Kulihat dia sangat menikmati perjalanan ini.

“Ton, aku ingin pulang besok pagi.” Suaraku bergetar, menatap sendu Toni yang sedang  merapikan bantalnya. Yang kuajak bicara seketika tertegun, menolehkan wajahnya kepadaku dengan air muka keheranan.

“Apa yang kau katakan, Ben?” Toni melipat dahinya.

“Aku ingin pulang, Ton.” Aku menjawab ringan, suaraku masih bergetar.

“Kau jangan bergurau, kawan.” Toni tersenyum, tidak percaya dengan apa yang kukatakan.

“Ton, aku serius. Aku harus pulang besok pagi.” Pernyataanku membuat Toni melangkahkan kakinya mendekat kepadaku. Aku masih tertuduk di sofa empuk yang menghadap tiga meter persis di depan televisi.

“Oh, Tuhan, ada apa ini? Bukankah kita baru sampai di London tadi sore, dan kau ingin pulang ke Indonesia besok pagi. Bahkan kau belum menemui kolega kerjamu. Ada apa denganmu, Ben?” Toni sedikit menaikkan frekuensi suaranya, aku hanya menundukkan kepala.

“Aku harus pulang, Ton. Aku harus pulang.” Suaraku mengeras. Aku melemparkan pandangan ke arah lukisan yang terpajang di kamar, lukisan yang luar biasa indah. Namun, saat ini aku tidak dapat menikmati estetika lukisan tersebut. Aku hanya ingin pulang.

“Baiklah, kita pulang besok pagi. Aku yang akan mengurus pembatalan pertemuan dengan klien besok. Tapi maukah kau ceritakan kepadaku, apa yang terjadi padamu, kawan?” Tangan kanan Toni menggenggam bahu kiriku, suaranya melemah. Aku menaikkan pandangan, mengangguk.

London, setengah jam yang lalu...

Waktu bergerak merangkak dan hari Jum’at berhenti tepat di pertengahan bulan terakhir kalender masehi. Jalanan kota ditimbuni salju, tupai-tupai di atas pohon mengintip takut orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan. Manusia-manusia di luar sana terlihat lebih gemuk karena jaket tebal yang dikenakannya. Aku dan Toni, melintasi jalanan menuju hotel, dengan bibir gemetar kedinginan. Bagai berjalanan di dalam lemari es saja. 

Aku tersenyum bahagia karena inilah impianku. Pergi ke London untuk mengaitkan jaring-jaring relasi bisnisku di sini. Aku mengajak Toni, kawanku sejak SMU sekaligus sekretarisku, di perusahaan otomotif yang kurintis delapan tahun yang lalu ini. Bisnisku maju pesat setelah dua tahun aku menikah.

Aku tipe pekerja keras, aku sangat terobsesi untuk menjadi kaya, memiliki rumah mewah, mobil dan kehidupan yang berlebih lainnya. Itulah sebabnya aku bekerja seperti orang kesetanan. Pagi siang malam, kuhabiskan waktuku di kantor. Bagiku, tidak ada istilah hari sabtu dan minggu untuk menikmati akhir pekan. Tidak ada. Akhir pekan selalu kugunakan untuk lembur atau menemui klien. Teman-temanku pernah bilang kepadaku kalau aku bekerja seperti orang yang kerasukan, aku hanya menanggapinya dengan tersenyum. Kini aku menuai hasilnya, perusahaanku menggurita, memiliki karyawan yang banyak, rumah mewah, serta mobil istimewa. Rasa-rasanya aku tidak pernah kesulitan untuk membeli sesuatu.

Dan, film yang sedang kutonton ini telah menyadarkanku bahwa aku telah melupakan sesuatu yang teramat penting di kehidupanku, dialah keluargaku.

Aku sedang duduk di sofa empuk yang berhadapan dengan televisi. Sambil menunggu giliran mandi air hangat yang masih digunakan oleh Toni, aku melepaskan lelah dengan menonton film. Channel film berubah seketika saat aku menombol angka di remote control. siaran olahraga, berita, dan seketika gerakan tanganku berhenti pada satu channel saat film tersebut menayangkan adegan prosesi akad pernikahan.

Di adegan itu, setelah akad dan janji nikah terucap, penghulu memberikan khotbah nikah kepada pengantin pria, “Setelah ikatan pernikahan ini terjalin, akan ada perempuan di rumah yang rindu menunggumu pulang, dia menyiapkan makan malam terlezat yang pernah dibuatnya untukmu. Setelah ikatan pernikahan ini akan ada seorang perempuan yang akan ikut merasa sakit jika dirimu merasa sakit, ikut merasakan sedih jika engkau bersedih, dan perempuan inilah yang pertama kali memberikanmu senyuman hangat, saat engkau membuka kelopak matamu di pagi hari. Maka jangan sakiti perempuan itu, karena dialah bagian dari jiwamu. Perempuan itu tidak meminta balasan yang berlebih, dia hanya ingin diperhatikan, ditemani seperti dia tulus menemanimu di semua keadaanmu.” Penghulu itu menutup khotbahnya. 

Menonton adegan itu, tak terasa air mataku meleleh menuruni pipi. Aku teringat kepada istriku di rumah. Aku merasa sangat egois karena aku tidak pernah ada waktu untuknya, yang kupikirkan hanya karir, karir dan karir. Tidak sadar bahwa setiap malam aku selalu mengecewakannya dengan tidak memakan masakan malamnya karena aku sudah makan malam di restoran dengan kolega bisnis. Alasan kelelehan sebab seharian bekerja di kantor membuatku tidak pernah ada waktu untuknya, walau hanya sekedar mendengarkan curahan hatinya membesarkan anak-anak di rumah. Dia membereskan sepatuku, membukakan dasiku, lalu aku menghempaskan tubuh di atas kasur empukku lalu tidur begitu saja. Bibirnya selalu tersenyum melihat wajah lelahku. Sekalipun dia tidak pernah memprotes. Tetapi aku baru sadar bahwa dalam hatinya, dia ingin sekali berbincang denganku walau sejenak.  

Aku juga merasa tidak menjadi seorang ayah yang baik bagi kedua anakku. Kemarin, Ken, anakku yang pertama, menemuiku sebelum aku berangkat ke London, bertanya apakah aku bisa menghadiri pertandingan final futsalnya akhir pekan ini, dia dipilih menjadi kapten tim oleh pelatihnya. Ekspresi kekecewaan nampak dari wajahnya saat aku menggeleng dan mengatakan bahwa aku harus bekerja selama lima hari ke depan. Bagaimana aku bisa mengecewakan buah hatiku yang menggemaskan itu, padahal banyak orang di luar sana yang masih kesulitan untuk memiliki anak. Kini, aku sangat merindukan keluargaku, kerinduan yang memuncak hingga ke ubun-ubun.

Indonesia, sehari setelahnya...

Setelah tujuh belas jam yang melelahkan terbang dari Bandara Heathrow London, sejenak setelah sampai di Bandara Soekarno-Hatta, aku melesat cepat ke rumah bagai peluru. Sesampai di rumah, kuketuk pintu dan istriku yang membukakannya, dia melipat dahi, bingung melihatku yang pulang jauh lebih awal dari agenda. Ku raih tubuhnya sebelum dia menanyakan sesuatu, kupeluk erat tubuh perempuan yang selama sembilan tahun ini menemani hidupku. Air mataku mengalir membasahi pakaiaannya. Tak dapat kupungkiri bahwa sebenarnya dialah yang membuatku sukses seperti ini. Untuk beberapa waktu, tak ada kata-kata yang terucap dariku maupun darinya. Namun, kami dapat merasakan getaran rindu yang kuat yang terpendam dalam kedua hati kami. 

Satu lagi tugas yang harus kuselesaikan hari ini. Menonton pertandingan final futsal, Ken.


Surabaya, 07 Maret 2013
11.30 am



Jumat, 01 Maret 2013

Menjemput Janji Kebahagiaan

Menjemput Janji Kebahagiaan

Pagi itu, Minggu, 19 Februari. Langit begitu berbeda dari biasanya. Rupa-rupanya awan abu-abu pekat seperti berkonspirasi menghalangi sinar matahari yang menerobos masuk ke jantung kota. Jalanan gelap. Mendung. Membuat pengendara motor di jalan kompak menyalakan lampu kendaraannya. 

Para mama di rumah melarang anak-anak untuk keluar rumah, takut hujan deras serta angin yang kencang mencelakakan mereka. Yang dilarang justru menggerutu dongkol, padahal mereka sudah mempersiapkan hari libur ini (bahkan saking senangnya menyambut hari ini sampai  ada yang tidak bisa tidur semalaman) dengan bersepeda dengan teman sejawatnya. Merutuki cuaca yang tak bersahabat ini saat mama mereka memaksa memasukkan sepeda ke dalam rumah. Tak ada cara lain bagi mereka selain berharap semoga cuaca kembali membaik.

Pagi itu, mendung juga menggelanyut di hati Rafli. Di dalam kamarnya saat ini dia hanya bisa menundukkan kepala. Janji kebahagiaan yang selama tiga bulan dia rajut bersama pujaan hatinya harus luruh bagai daun – daun kering yang ditercerabut dari tangkainya oleh angin di luar sana. Rafli mengangkat kepalanya, otak menginstruksikan kedua bola mata Rafli melirik ponsel miliknya yang tergeletak di meja kamar. Tak ada. Tak ada pesan yang masuk. Padahal setiap pagi ada pesan yang masuk di ponselnya, entah berisi motivasi, kata-kata mutiara, atau sekedar menanyakan kabar dari gadis yang dia kenal saat mengikuti seminar pendidikan beberapa bulan yang lalu. gadis yang membuat dirinya jatuh hati sejak pandangan pertama. gadis yang memberikan gradasi warna yang indah bagi kehidupannya akhir-akhir ini. Sudah selesai, semuanya sudah selesai. Rafli kembali menundukkan kepala.

Penyebabnya adalah telepon semalam. Semalam, Amira menelepon Rafli menginformasikan bahwa ada seorang pemuda datang ke rumahnya dengan alasan meminta Amira menjadi istrinya.  Pemuda itu merupakan dokter muda. Akademiknya bagus, seorang freshgraduated Pascasarjana Fakultas Kedokteran di salah satu kampus terbaik di Surabaya. Dengan profil yang ciamik seperti itu, tidak ada alasan logis bagi orang tua Amira untuk menolak pinangan tersebut. Namun tidak untuk Amira, dia tidak tertarik oleh semua itu, karena hatinya sudah tertambat kepada seorang yang bernama Rafli.

Orang tua Amira meminta anaknya gadisnya itu untuk menerima pinangan si dokter muda. Namun, Amira meminta waktu tiga hari untuk memikirkan jawabannya. Hatinya tidak dapat berbohong bahwa dia mencintai Rafli. Di seberang telepon, Amira menangis dan mengatakan kepada Rafli bahwa dia hanya punya waktu tiga hari untuk menjawab pinangan tersebut. Walau tidak mengatakannya secara lugas, tetapi Rafli sadar betul bahwa tujuan Amira menelepon dirinya adalah agar Rafli berani datang ke orang tua Amira secepatnya untuk meminang Amira.

Hanya saja Rafli merasa sudah seperti orang yang kalah sebelum berperang. Dengan hanya bekerja sebagai guru les Bahasa Inggris yang pendapatannya jauh dari kata berlebih, jiwa Rafli dihinggapi keraguan. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana dia dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya dengan hanya mengandalkan pendapatan dari pekerjaan guru honorer ini. Selain itu, Rafli juga pesimis orang tua Amira akan menerimanya setelah ada seorang dokter muda yang datang untuk meminta putri bungsunya itu. Secara materi, Rafli bukan tandingan si dokter muda itu. Lidah Rafli kelu, menutup telepon setelah meminta waktu kepada Amira untuk berfikir sejenak.

Pintu kamar Rafli berbunyi tiga ketukan, Rafli mengangkat kepalanya, lalu bangkit membukakan pintu, matanya yang lesu semburatkan kesedihan yang dia rasakan. Pintu kamar terbuka saat secara bersamaan Rafli menekan dan menarik ganggang pintu yang udah mulai aus itu. Dibalik pintu ternyata Ibunda Rafli berdiri membawakan semangkuk sup ayam panas di tangan kanan dan segelas teh hangat di tangan kirinya. Disapanya Rafli dengan senyum hangat yang sejenak membuat anak sulungnya itu dapat melupakan kegalauan hati.

“Dari semalam kau terlihat lesu. Ada apakah, Nak?” Rafli menghentikan suapan makannya yang kelima, lalu mendongakkan kepala kepada Ibunya.

“Tidak ada apa-apa, bun.” Kata-kata yang keluar dari mulut Rafli jelas bertentangan dengan apa yang ditujukkan oleh raut mukanya. Ibunda Rafli hanya tersenyum tipis.

“Engkau mempunyai hak untuk tidak menceritakannya kepada bunda. Tapi dari air muka yang kau tunjukkan saat ini, mengingatkan bunda kepada seseorang dua puluh lima tahun yang lalu. Dan seseorang itu adalah ayahmu.” Rafli segera menaruh mangkuk supnya di meja. Menatap penuh makna wajah bunda, merasa penasaran dengan kalimat bundanya barusan. Yang ditatap kembali tersenyum melihat anak sulungnya kebingungan.

“Iya, dua puluh lima tahun yang lalu. Ayahmu datang ke rumah bunda, sendiri menggunakan motor bututnya yang baru dia beli dari temannya dengan cara mengangsur selama lima kali. Ayahmu berusia 24 tahun saat itu, dia pemuda yang tampan. Banyak perempuan yang menyukai dirinya, namun entah mengapa dia hanya menaruh perhatian kepada bunda. Dengan mantap dia menemui kakekmu, mengutarakan keinginannya untuk memperistri bunda. Lalu apakah engkau tahu apa yang dikatakan kakekmu kepada ayah?” Bunda menatap Rafli dengan sedikit senyum simpul, anak sulungnya menggelengkan kepala. 

“Kakekmu menanyakan perihal keluarganya, pendidikan serta apa pekerjaan ayah. Pertanyaan tentang pekerjaanlah yang membuat ayahmu berkeringat. Bunda yang melihatnya dari balik tirai kamar juga merasa kuatir. Saat itu ayahmu hanya seorang pelukis, dan selama ini dia hidup mandiri hanya dengan hasil menjual lukisannya. Sudah barang tentu dia tidak memiliki penghasilan tetap. Kakekmu memberitahu kepadanya bahwa dalam membina keluarga membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, namun saat itu hanya melukislah yang bisa dilakukan oleh ayahmu. Lalu, kakek meminta maaf karena lamaran ayahmu kepadaku belum diterima, sebab ayahmu tidak memiliki pekerjaan tetap. Ayah menundukkan kepalanya, kulihat air mukanya ketika itu mirip sekali dengan air muka yang kau tunjukkan saat ini.” Suara guntur di langit kota semakin keras, titik per titik air hujan sudah meluncur turun menghajar tanah. Rafli mulai tertarik dengan cerita bundanya, yang bercerita juga bersemangat menceritakan kejadian seperempat abad yang lalu itu.

“Apakah kakek tidak suka dengan ayahmu? Tentu saja kakek sangat suka dengannya. Kakekmu tahu betul akan keteguhan hati serta kerja keras ayahmu. Kakekmu hanya menguji mentalnya. Kakekmu yakin bahwa ayahmu tidak akan menyerah begitu saja. Dan benar saja, setelah beberapa saat terbenam dalam kekecewaan, ayahmu menegakkan kepalanya lalu berkata kepada kakek ‘Maaf Pak, benar saat ini saya tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak berpenghasilan tinggi, namun saya berjanji akan bekerja keras untuk membahagiakan Shofia. Saya akan bekerja keras untuk itu, saya berjanji. Saya mencintainya saat pertama kali bertemu dengannya. Dan, dari pertemuan itulah saya yakin Shofia adalah perempuan yang terbaik bagiku dan anak-anakku kelak. Kumohon restuilah hubungan kami.’ Kau tahu Rafli? Ayahmu benar-benar mantap mengungkapkan kalimat tersebut. Hati bunda bergemuruh saat itu juga mendengar kalimat itu.” Hujan semakin deras di luar sana. Genting atap rumah semakin gaduh ditimpa jutaan tempias air hujan yang meluncur secara serempak dan simultan.

“Di akhir pertemuan itu, kakekmu tersenyum dan yakin bahwa laki-laki yang sedang di depannyalah yang terbaik untuk mendampingi putri semata wayangnya mengarungi sisa hidup ini. Pinangan ayahmu diterima. Raut muka kekecewaan yang tadi dia tampakkan berubah menjadi senyuman manis dari bibirnya. Dan, sampai saat ini, walau kehidupan kita sederhana namun bunda selalu bahagia berada disisi ayah. Selama berkeluarga, bunda tidak pernah dikecewakan oleh ayahmu. Ayahmu menepati janjinya, janji untuk selalu menyayangi dan membahagiakan keluarga ini. Bunda mencintainya. Mencintainya juga saat pertama kali bertemu.” Bunda menutup ceritanya.

“Oh iya, siapa nama gadis cantik yang membuatmu kusut begini? Pergilah, temui orang tuanya dan katakan seperti apa yang ayah katakan kepada kakekmu dua puluh lima tahun yang lalu.”  Bunda mengedipkan matanya sambil tersenyum ke Rafli.

Dan, secercah harapan menjemput janji kebahagiaan itu mulai tersibak kembali di hati Rafli.


Surabaya, 25 Februari 2013
10.00 a.m



Minggu, 28 Oktober 2012

Disinilah aku merasa bahagia...


Disinilah Aku Merasakan Bahagia

Kamis, Pukul 09.00 wib
Sang surya sudah mulai menjauhi ufuk timur. Sinarnya pun mulai siap menyengat kulit-kulit yang tak terlindungi. Berbeda pada saat kulihat subuh hari tadi, saat sang raja siang ditemani gumpalan awan yang mengapas di atmosfer masih malu-malu merangkak naik melewati garis horizon, semburat warna jingga yang berpendar di langit – langit menciptakan lukisan alam yang membuat siapapun yang memandangnya akan terpesona dengan betapa ajaib rahasia perguliran siang dan malam.
Di masjid. Usai melaksanakan empat rokaat shalat dhuha, kutengadahkan kedua tangan melepaskan segala keluh kesah kepada Sang Pemilik nyawaku. Bulir demi bulir air mataku mengucur begitu saja tak terkendali. Tinggal dua hari lagi. Dua hari mungkin akan menjadi pembeda hidupku saat ini dengan masa mendatang.
Allah, waktu dhuha ini adalah milik-Mu.
Segala keagungan adalah milik-Mu.
Segala keindahan adalah milik-Mu.
Terdengar suara riang (kalau tidak disebut bising) siswa-siswi yang sedang menikmati waktu istirahat. Tujuh delapan anak kelas satu bergantian bermain seluncuran, sedang yang kelas empat sampai kelas enam lebih banyak bermain bola di lapangan tengah sekolah. Sambil menjilat es krim, sebagian siswi asyik bercanda dengan teman sejawatnya. Seru. Sementara di teras depan perpustakaan sekolah, terlihat sekitar enam orang anak tenggelam oleh cerita yang ada pada buku yang dibacanya.
Bahwa, segala kekuatan adalah milik-Mu.
Segala kekuasaan adalah milik-Mu.
Segala perlindungan adalah milik-Mu.
Ibu – ibu yang mengantar anaknya (biasanya kelas satu) duduk bercakap – cakap dengan ibu – ibu pengantar lainnya di teras masjid, satu dua kali kesempatan mereka melihat keadaan anaknya yang sedang asyik bermain perosotan di halaman sekolah, tak jarang pula mereka mengingatkan kepada buah hatinya untuk hati – hati saat bermain. Yang diingatkan tidak menghiraukan sedikitpun, terus saja bermain. Berceloteh riang bersama teman sejawatnya. 
            Ya Allah, jika rezekiku masih di atas langit, mohon turunkanlah.
            Jika masih ada di dalam bumi, mohon keluarkanlah.
            Cahaya matahari berpendar menerangi bumi di bagian timur, sorot sinarnya menemani manusia yang larut dalam rutinitas harian. Aku semakin tenggelam dalam kekhusukan ‘curhat’ kepada-Nya. Entah sudah berapa bulir air mata yang menetes membasahi mukenaku. Tinggal dua hari. Dua hari yang menentukan perjalananku ke depan. Namun, biarlah. Biarlah, Engkau saja yang berdaulat menentukan arah langkahku. Karena aku sangat yakin Engkau tahu mana yang tepat untuk memberikan yang terbaik.
Jika masih  sulit, mohon mudahkanlah.
            Jika masih haram, mohon sucikanlah.
Jika masih jauh, Ya Allah, maka dekatkanlah.
Entah mengapa, dengan melakukan sholat ‘pemancing’ rezeki ini, aku merasakan ada energi baru yang merasuk dalam jiwa dan mengalirkannya ke raga. Aku merasakan segala kepenatan dalam seperempat hari ini berganti kenikmatan serta kelapangan batin. Mungkin ini adalah salah satu bukti janji-Nya, bahwa siapa yang mendawamkan sholat dhuha, maka rezeki akan selalu mengalir. Bukankah kelapangan batin juga termasuk rezeki?
Limpahkan kepada kami keberkahan.
Seperti yang telah Engkau limpahkan kepada hamba – hamba-Mu yang shalih.     
Terlintas tentang momen ‘kesepakatan’ku dengannya dua bulan yang lalu. Juga terlintas wajah Ayah yang menatapku penuh makna saat mendengar jawabanku atasnya. Walau masih terasa berat kurasa, namun kali ini kucoba menaruh segenap harap kepada Sang Pembolak-balik hati ini. Jika ini yang terbaik bagiku dan keluargaku, walau berat akan aku lakukan. Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun. Daun yang tak pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.
***
Dua bulan yang lalu…
“Kalau Ustadzah Faizah mensetujui rencana ini. Maka pernikahan ini dapat dilaksanakan dua bulan lagi. Untuk segala keperluan dan persiapan, InsyaAllah keluarga kami yang akan mengaturnya.” Suara perempuan berusia sekitar setengah abad itu terdengar berwibawa. Aku yang diajak bicara hanya dapat menatapnya tenang.
Percakapan ini terjadi tepat di hari ke tujuh belas dalam bulan keempat kalender masehi atau dua hari sebelum aku berulang tahun yang ke dua puluh enam. Walau tak pernah menanyakannya secara langsung kepadaku, namun aku tahu bahwa Ayah pasti menginginkan putri sulungnya (aku) untuk segera berumah tangga. Beberapa kali beliau melihat tetangga menimang bayi, Ayah selalu berkata “Bahagia sekali kalau Ayah bisa mengendong cucu.” Aku hanya tersenyum ringan. Sebenarnya sebelum ini sudah ada dua orang yang memintaku agar menikah dengannya, namun aku menolak keduanya. Kulihat semburat rasa kecewa di air wajah Ayah saat mengetahui bahwa aku menolak keduanya waktu itu.
 “Aku masih ingin mengajar anak-anak, Yah.” Itu yang kukatakan kepada Ayah, dia hanya merespon alasanku dengan anggukan kepala. Dia tak pernah memaksaku secara verbal. Namun, aku selalu dapat merasakan aroma kekecewaannya. Ah, sudah dua kali aku membuatnya kecewa. Demi melihat wajahnya yang sendu, hatiku miris merasa bersalah takut tidak bisa membahagiakannya di dunia ini. Dan, aku berjanji pada diriku sendiri untuk segera memenuhi keinginannya itu.
 Dan, akhirnya kesempatan itu datang kembali. Ustadzah Laila, teman satu kantorku memberikan informasi bahwa ada salah satu temannya yang ingin meminangku. Dengan segala pertimbangan, aku mengiyakan untuk ber-ta’aruf, maka terjadilah pertemuan keluarga ini. Pertemuan ini merupakan yang ketiga kalinya aku dilamar seseorang. Aku sudah tidak ingin mengecawakan Ayah lagi.
 Namun, di saat keputusanku sudah bulat menerima lelaki berusia 27 tahun itu untuk menjadi suamiku. Kendala mulai muncul dengan persyaratan yang diajukan oleh keluarganya kepadaku. Keluarga lelaki ini ternyata keluarga pebisnis yang sukses, perusahaannya memiliki cabang hingga di seluruh kota di nusantara. Dan, rencananya jika sudah menikah mereka menginginkan aku bersama suamiku tinggal di Batam demi mengurus perusahaan keluarga yang ada di sana. Sebuah persyaratan yang bagaikan kerikil tajam menanti tepat di depan jalan hidupku. Ingin aku tolak persyaratan tersebut, tapi aku sudah  berjanji kepada diri sendiri bahwa aku tidak akan mengecewakan Ayah lagi. Sebuah penolakan dariku berarti kekecewaan bagi Ayah.
Ayah yang duduk di sampingku, menundukkan pandangannya ke lantai. Ayah sangat paham bahwa aku mencintai dunia pendidikan. Ayah juga paham bahwa aku bahagia menjadi bagian dari sekolah At-Taqwa. Menjadi bagian dari pendidik  putra-putri bangsa menjadi generasi Qur’ani. Dan, persyaratan untuk mengikuti suami tinggal di Batam, berarti aku harus meninggalkan sekolah ini, sekolah yang kucintai ini. Ayah tahu, aku sedang gamang. Oleh sebab itulah dia tidak berani menatapku apalagi memaksakan kehendaknya atasku. Mungkin dia sudah percaya bahwa aku dapat mengambil keputusan dengan pertimbangan yang matang.
Tiga menit berlalu tanpa jawaban yang jelas dariku…
“Bagaimana Ustadzah Faizah?” Suara wibawa perempuan paruh baya itu kembali mengisi ruang tamu rumahku.
“Umi, mungkin Faizah masih butuh pertimbangan. Jadi berikan kesempatan kepadanya untuk mengambil keputusan. Maafkan kami Faizah, jika dianggap terlalu memaksa.” Kali ini lelaki berusia 27 tahun itu yang mengambil alih pembicaraan. Perempuan yang dipanggil umi menganggukkan kepala, tanda setuju. Aku menatap lekat lelaki yang akan menjadi bakal calon pendamping hidupku, sepertinya dia terbiasa mencairkan suasana. Teh hangat yang ada kusajikan kepada tamuku ini sudah mulai dingin.
Ini tidak akan mudah. Tapi aku harus ambil keputusan.
Aku menghirup udara dalam – dalam, menahannya sebentar dalam dada, dan menghembuskannya pelan. Suara tak tik tok jam dinding terdengar cukup keras. Cicak yang merambat di dinding menghentikan aktivitasnya mencari makan, seakan ingin juga menguping keputusanku. Kupejamkan sebentar kedua bola mata dengan kelopak. Terlintas dalam pandangan mayaku bayangan anak – anak yang sedang menyambut kedatanganku di kelas, celoteh cadel menggemaskan dari sebagian mereka yang tak jarang membuatku tersenyum lebar.
Tuhan, mohon berikan aku yang terbaik. 
Bismillah…
“Baiklah, aku terima pinangan ini berserta persyaratan yang diajukan keluarga Umi kepadaku, dan kita akan atur jadwal pernikahannya…”
 Aku sudah mengatakannya. Aku sudah menerimanya. Menerima dengan syarat yang diberikan. Meninggalkan At-Taqwa. Ayah menaikkan pandangannya kepadaku, menatapku tanpa satu katapun, namun aku dapat menafsirkan tatapan itu : apakah kau yakin, Nak? Aku balas menatapnya dengan anggukan ringan. Lelaki berusia 27 tahun yang duduk di depanku mengucapkan syukur.  Satu sisi hatiku merasa bahagia, karena aku dapat menunaikan keinginan Ayah, namun sisi hatiku yang lain masih berat meninggalkan At-Taqwa. Meninggalkan lembaga pendidikan islam yang ada di Surabaya bagian barat ini.
“Apakah kamu yakin dengan keputusanmu, Nak?” Setelah mengantar keluarga calon besan hingga di halaman rumah, Ayah menatapku sendu. Ayah pasti mengerti bahwa tadi aku sangat sulit mengambil keputusan. Aku yang ditanya hanya tersenyum getir.
“Apakah kamu benar – benar siap meninggalkan At-Taqwa?” Aku bingung harus menjawab apa? Aku nyaman berada di tempatku mendidik saat ini, bertemu dan mengajari anak-anak yang masih polos dan lucu membuatku bahagia. Terus terang aku sepenuhnya belum siap meninggalkan At-Taqwa, sekolah yang jatuh bangun kami dirikan. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah berjanji untuk tidak membuat Ayahku kecewa lagi. Aku sudah berjanji untuk segera memenuhi keinginannya, yakni melihatku menikah.
“Iya, Yah.”
“Maafkan Ayah yang tidak bisa memberikan pilihan kepadamu, Nak.”
“Ayah, harusnya Faizah yang meminta maaf, karena sudah dua kali menolak pinangan laki-laki. Bukankah Ayah menginginkan agar aku bersegera menikah?”
“Maafkan Ayah.”
Hampir saja aku menangis dihadapan Ayah. Sebelum benar-benar mengucurkan air mata, aku membalikkan badan dan melangkah menuju kamar tidur.
“Faizah mau istirahat dulu ya, Yah.”
Tiba-tiba hatiku merasakan kerinduan yang teramat sangat kepada Ibu. Andaisaja Ibu masih hidup, aku ingin bertemu dengannya, sekedar memeluknya dan meluapkan keluh kesah yang mengumpal dalam hati. Aku mengambil wudhu, lalu kurebahkan badan di atas kasur, berharap secepatnya dapat tertidur. Dengan begitu, walau hanya dalam hitungan beberapa jam, aku dapat melupakan kegelisahanku. Ibu, apakah engkau di sana tahu bahwa saat ini aku sangat merindukanmu?
***
Kamis, Pukul 09.15 wib
Aku sudah duduk di teras depan perpustakaan, enam siswi yang kulihat dari dalam masjid masing – masing masih tenggelam dalam alur cerita buku yang dibaca. Mereka tidak merasa risih akan kehadiranku, malah ada yang mempersilahkanku duduk di sampingnya. Inilah yang kusuka menjadi seorang pendidik di At-Taqwa. Budaya egaliter yang dibuat sedemikian rupa oleh sekolah menjadikan siswa tidak merasa ada jarak secara emosi dengan para guru. Inilah pula yang membuat anak-anak lebih care mengungkapkan permasalahan belajarnya, tanpa takut diomeli oleh guru.
Para siswa kelas atas masih bersemangat bermain bola, setiap bola berpindah kaki, pemain lain berteriak-teriak agar diberi umpan. Seru sekali. Mungkin mereka tidak sadar kalau bulir-bulir keringat mulai bercucuran dari pori-pori kulit dan membasahi seragam putih hijau yang dipakai. Di sisi lapangan, anak-anak kelas bawah masih riang bergantian bermain seluncuran, tertawa lepas mengabaikan peringatan orang tua mereka agar selalu berhati – hati. Indah sekali hidup seperti mereka, riang bermain bersama, bergurau, tiada iri hati serta dengki, semuanya terasa damai.
“Ustadzah Faizah, Alif punya pelmen… ustadzah mau?” Aku menoleh ke arah sumber suara. Aku sangat hafal siapa pemilik suara cadel ini. Tidak salah lagi, pastilah Arif Azzam, muridku yang lucu. Dia masih duduk di kelas satu. Walau masih kelas satu (dan belum benar-benar bisa mengucap huruf “R”), kemampuan menangkap pesan dari guru benar – benar menakjubkan.
 Dua minggu yang lalu aku mengisi pelajaran IPS di kelas yang ditempati Arif. Aku mengatakan bahwa berbagi itu dapat memperbanyak teman, disayang orang tua, dan yang paling penting disayang Allah, hingga pada akhirnya orang – orang yang suka berbagi akan memasuki surga. Aku juga menambahkan bahwa kalau di surga itu kita bisa memiliki apa saja yang kita mau.
“Belalti kalau sudah di sulga Alif bisa  punya helikoptel sendili, ya, Ustadzah?” Arif mantab mengacungkan tangannya. Aku yang ditanya mengangguk dibarengi senyum geli. Sejak saat itulah apapun yang dimilikinya pasti habis dibagi-bagikan. Seperti permen ini. Ibunda Arif pernah bilang kepadaku kalau setiap hari Arif merengek untuk dibelikan permen satu bungkus. Saat ditanya mengapa kok banyak sekali beli permen? Arif menjawab “Mau Alif bagi-bagikan ke teman – teman, Bial nanti Alif punya helipkoptel sendili. Begitu kata Ustadzah Faizah.” Aku dan Ibunda Arif tertawa geli mendengarnya.
 “Iya, Arif. Ustadzah mau minta permennya satu, boleh?”
Arif menjawabnya dengan anggukan kepala, lalu memberikan permen lollipop rasa coklat kepadaku.
“Terimakasih, anak shaleh.”
Lagi-lagi Arif menjawabnya dengan anggukan kepala. Lalu berlari meninggalkanku, mungkin misi menyebarkan permennya belum kelar.
Ah, tanyakan kepada semua pendidik yang berhati tulus. Apa yang paling membahagiakan di dunia ini? Aku berani menjamin jawabannya pasti saat pesan yang kita sampaikan benar-benar menghujam dalam benak siswa dan siswa bersemangat untuk mengaplikasikan pesan itu dalam perilaku kesehariannya. Seperti aku saat ini, aku sangat bahagia karena pesanku terejawantahkan oleh perilaku seorang Arif. Namun, mungkin dua hari lagi aku tidak akan bersama murid-muridku ini lagi.
***
Tubuhku melayang tepat di atas lahan yang lapang, lahan itu dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Mawar, melati, bunga matahari, anggrek, tulip menampakkan keindahannya masing-masing. Aroma yang dipancarkan oleh masing-masing bunga memanjakan indera penciumanku. Aku terus mengambang di awang-awang menikmati luas hamparan yang sepanjang mata memandang dipenuhi bunga – bunga yang sungguh luar biasa indahnya.
Tubuhku masih melayang – layang. Tiba-tiba ekor mataku menangkap sesosok perempuan bergamis putih cemerlang berdiri di dekat sekelompok bunga matahari, perempuan yang tak asing lagi dalam kehidupanku. Kutolehkan pandangan untuk memastikan, bukankah itu Ibu? Tubuhku masih melayang, perempuan itu tersenyum seraya melambaikan tangannya kepadaku sebagai isyarat kemarilah, Nak. Ibu, tidak salah lagi itu Ibu.
“Ibu…” Sekuat tenaga aku memanggilnya, yang kupanggil hanya tersenyum kepadaku. Aku berusaha untuk turun lagi ke tanah, namun tak bisa. Ku arahkan tubuhku yang melayang agar aku dapat memeluknya, namun tak bisa. Lambaian tangan Ibu membuatku semakin berusaha untuk lebih dekat dengannya, sekuat tenaga namun tetap nihil.
“Ibu…” Aku berteriak memanggilnya. Ibu hanya tersenyum kepadaku, wajah cantiknya berkilau tersaput cahaya.
“Ibu, aku merindukanmu, aku ingin sekali memelukmu.” Aku kembali berteriak, aku menangis, kenapa saat bertemu seperti ini aku tidak bisa lebih dekat dengan Ibuku. Aku merasa tubuhku sudah tidak bisa berbuat apa-apa selain mengambang di awang-awang. Di bawah sana Ibu menatapku sendu.
“Apakah Ibu tahu, aku di sini selalu menanti dirimu? Menanti dapat bertemu kembali denganmu. Aku menunggumu hingga ujung waktu. Ibu, ijinkan aku memeluk dirimu kali ini saja, kumohon, Bu…” Aku berteriak, menangis. Kembali Ibu menatapku sendu, kali ini tanpa senyuman.
***
“Oi, calon kemanten anyar kok melamun saja sih?” Ustadzah Laksmi membuyarkan lamunanku tentang mimpiku bertemu Ibu kemarin malam.
Ada apa, Faizah?”
“Tidak ada apa-apa kok, Laksmi.”
“Tidak mungkin kalau tidak ada apa-apa. Ayolah, aku ini sahabatmu sejak kuliah, jadi aku tahu tentangmu. Kuperhatikan akhir-akhir ini kau sering melamun. Tidak biasanya aku melihat kau seperti ini. Ada apa?”
Ustadzah Laksmi adalah guru matematika di sekolah ini. Dulu, waktu masih sama – sama berstatus sebagai mahasiswa, kami sering bertemu dalam kegiatan Sie Kerohanian Islam (SKI) kampus. Aku bersahabat baik dengannya. Dia tipe teman yang care, periang, dan komunikatif (kalau tidak disebut cerewet). Lamanya waktu bersahabat dengannya, membuatku paham akan karakternya, masakan apa yang paling favorit baginya, serta binatang apa yang membuatnya ketakutan. Sebaliknya, dia juga mengerti sifat-sifatku, dan sisi-sisi lain dariku. Mangkanya, dia dapat menebak kalau saat ini aku pasti memiliki masalah.
“Entahlah, Laksmi.” Aku belum bisa memulai cerita ini darimana.
“Dua hari lagi kau akan menikah, harusnya kau bahagia, Faizah.”
“Tapi aku tidak bisa jika harus meninggalkan At-Taqwa, kawan.”
Matahari merangkak meninggi secara konstan, dan kini ia berada tepat di tengah garis katulistiwa. Dari lantai tiga, aku menatap lapangan sekolah yang tadi pagi di buat bermain bola oleh anak-anak. Di depan ruangan audio visual, tertampang banner bertuliskan : “Our Selves, Ibda’ Binafsik”.
Laksmi menjawil rusukku, terseyum geli, “Emm, kau memang guru teladan di sini, Faizah.
“Kau mencintai sekolah ini, kau juga sangat bahagia mengajar anak-anak. Dan, anak-anak sangat senang jika mata pelajarannya engkau yang mengisi. Pindah ke Batam bukanlah sesuatu yang kau inginkan, bukan?
“Kau sangat peduli dengan pendidikan Islam. Enam tahun yang lalu, mati-matian kau bersama pendiri At-Taqwa yang lainnya membesarkan sekolah ini. Pagi hingga siang hari kau rela berjalan  ke perumahan-perumahan untuk menyebarkan brosur Sekolah At-Taqwa secara door to door. Peluh bercururan membahasi jilbab lebarmu. Saat kutanya mengapa kau melakukan hal senekat itu? Apakah kau ingat apa jawabanmu kepadaku?”
***
Tentu saja aku ingat. Usiaku baru memasuki dua puluh tahun saat itu. Sedang usia At-Taqwa masih berbilang bulan. Waktu itu At-Taqwa hanya membuka kelas Taman Kanak-kanak. Bersama Laksmi, dan ketiga Ustadzah yang lainnya, kami berlima berinisiatif untuk ‘memasarkan’ sekolah ini secara door to door. Sejujurnya ini adalah inisiatifku. Awalnya teman-teman pesimistis, apakah cara yang dilakukan ini efektif, mengingat di Surabaya cukup banyak berdiri sekolah – sekolah islam yang memiliki reputasi mengkilap. Namun, aku meyakinkan mereka bahwa selama ada kemauan, maka di situ pastilah ada jalan.
 “Kalau bukan kita yang bergerak, siapa lagi yang akan mensyiarkan agama ini?” Kalimat itu meluncur dari bibirku saat Laksmi bertanya mengapa aku harus nekat door to door mengenalkan At-Taqwa kepada khalayak. Yang lainnya mengangguk setuju. Jadilah kami berlima mengeksekusi marketing dari perumahan satu ke perumahan yang lainnya.
Man Jadda Wa Jada, siapa bersungguh-sungguh dia akan berhasil. Itu pepatah Arab yang tidak bisa disangkal lagi kebenarannya. Terbukti setelah selama dua bulan kami mengenalkan At-Taqwa dari rumah ke rumah, dari perumahan ke perumahan, jumlah murid mulai bertambah secara signifikan.
Tapi masih ada yang kurang, begitu menurut Ustadzah Alfiah, bahwa lembaga ini butuh orang yang dapat memanage serta membuat kurikulum sekolah dengan baik. Maka kembali kami mencari orang yang tepat untuk menjadi direktur At-Taqwa. Akhirnya kami berkenalan dengan salah satu pendiri sekolah Islam ternama di Surabaya. Kami menawarinya menjadi direktur dan dia mengiyakannya. Perubahan demi perubahan yang positif terus terjadi, pendidikan berkarakter serta kurikulum Visi Semesta yang ditawarkan membuat para wali murid tidak ragu untuk menitipkan putra – putrinya belajar di sekolah ini.
***
“Kau sudah berhasil, Faizah. Kau sudah berhasil membangun satu lembaga pendidikan islam yang kuat. Kau lihat, usahamu membuahkan hasil.
“Lihatlah, murid – murid kita yang sangat membanggakan, dan itu tak lepas dari usahamu bersama saat membabat alas sekolah ini.” Laksmi memandangi pemandangan perumahan sekitar dari lantai tiga gedung sekolah.
“Aku akan selalu merindukan At-Taqwa.” Aku menatap Laksmi yang masih hikmat menatap pemandangan di luar sana. Demi mendengar suaraku yang berat, Laksmi mengarahkan tatapannya kepadaku.
“Kami akan merasa kehilanganmu, Faizah. Semoga kau bahagia di Batam. ”
Entah mengapa, akhir – akhir ini air mataku mudah sekali keluar dari kelenjar. seperti saat ini, aku sudah berkaca-kaca, Laksmi pun demikian.
***
Jum’at, Pukul 08.00 wib
Aku memasuki ruang kelas, hari ini aku mengajar mata pelajaran PKn. Sesuai kesepakatan dua bulan yang lalu, hari ini adalah hari terakhir aku mengajar di At-Taqwa, sebelum besok pagi aku harus menikah dan terbang ke Batam. Teman – teman di kantor banyak yang melipat dahi demi melihatku masih masuk kerja, padahal besok aku menikah. Aku katakan pada mereka, ini hari terakhir aku berada di Surabaya, setidaknya aku ingin berpamitan kepada murid-muridku. Mereka tersenyum. Ah, aku tidak mau melewatkan sedetikpun kedekatanku sedikitpun bersama anak-anak.
“Assalamualaikum anak-anak, hari ini Ustadzah Faizah akan bercerita…Dan, Ustadzah akan mulai bercerita jika kalian duduk dengan shalih.” Demi mendengar ceritaku anak-anak  yang masih gaduh segera merapikan diri masing – masing. Aku tersenyum geli melihat tingkah mereka. Sudah sangat alamiah bila anak-anak lebih suka pelajaran yang dibungkus dengan cerita – cerita atau dongeng. Jam dinding ber tak tik tok pelan, Air Conditioner mengembuskan udara segar bersuhu 23 derajat celcius, membuat seisi kelas nyaman pada tempat duduknya masing-masing.
“Baiklah, suatu ketika ada seorang raja yang ingin menguji ketiga pengawal setianya. Raja tersebut mengumumkan kepada ketiganya untuk mengikuti perlombaan. Lombanya sederhana, hanya menanam kacang hijau. Siapa yang dalam waktu tiga minggu bisa menumbuhkan batang paling panjang, dialah pemenangnya. Dan, bagi pemenang akan mendapatkan hadiah berupa rumah mewah dari sang raja.
“Lalu, sang raja memberikan satu biji kacang hijau kepada ketiga pengawalnya. Disaksikan oleh pejabat tinggi kerajaan, perlombaan pun dimulai.” Aku menatap wajah anak-anak yang antusias mendengarkan ceritaku, meraba-raba ending cerita. Teruskan Ustadzah, begitu maksud tatapan mereka.
“Satu dua hari mereka menanam biji kacang hijau pemberian raja ke dalam gelas berisi kapas, setiap harinya mereka siram biji tersebut. Itu dilakukan mereka secara terus menerus, rutin tanpa pernah meninggalkan biji kacang hijau sedetikpun.
“Tiga minggu berlalu. Saatnya mengumpulkan hasil kerja menanam biji kacang hijau. Raja sudah menunggu bagaimana hasil kerja keras ketiga pengawalnya tersebut. Maka dipanggillah pengawal pertama. Dengan wajah sumringah, pengawal pertama menujukkan kacang hijau dalam gelas, terlihat batangnya panjang menyembul keluar gelas. Lantas raja meyuruh petugas perlombaan untuk mengukur seberapa panjang batang tersebut. Setelah diukur ternyata batang kacang hijau itu mencapai 25 sentimeter. Para pejabat yang sedang menonton bertepuk tangan, raja berdehem, sedang pengawal pertama tersenyum puas.
“Tiba giliran melihat hasil kerja pengawal kedua. Dengan wajah yang tak kalah berbinar, sang pengawal kedua memperlihatkan hasil ketekunannya selama tiga minggu kepada raja. Ditunjukkan gelas berisi kacang hijau yang sudah menjadi kecambah, batangnya juga panjang hingga menyembul keluar gelas. Setelah diukur ternyata panjang batang kacang hijau milik pengawal kedua adalah 30 sentimeter. Penonton bertepuk tangan, pengawal kedua mengepalkan tangan membayangkan pasti dialah yang akan mendapatkan hadiah dari sang raja, sedangkan pengawal pertama lesu karena batang kacang hijau miliknya kalah panjang.
“Lantas, tibalah giliran pengawal ketiga. Berbeda dengan kedua pengawal tadi yang bersemangat memberikan hasil kerja menanam biji kacang hijau. Wajah si pengawal ketiga menyemburatkan ekspresi lesu, tidak bergairah. Sang raja menyuruh pengawal ketiga agar memperlihatkan hasil kerjanya. Akan tetapi yang diperlihatkan cuma gelas yang di dalamnya hanya ada kapas basah dan satu biji kacang hijau tanpa ada sesenti batangpun yang tumbuh. Pejabat kerajaan yang menonton melipat dahi, raja menatap pengawal ketiga lekat-lekat. Sementara pengawal kedua yang batang kacang hijaunya paling panjang tersenyum penuh kemenangan.”
“Sekarang Ustadzah Faizah mau bertanya kepada kalian, sampai di sini berarti siapakah pemenangnya?” Aku mamandangi satu per satu seisi kelas. Antusias sekali mereka mendengar cerita ini.
“Pengawal kedua, Ustadzah…” Jawab mereka koor. Aku tersenyum, polos sekali mereka.
“Mengapa kalian menduga bahwa pemenangnya adalah pengawal kedua?”
Rizki menggangkat telunjuk, “Karena batang kacang hijaunya paling panjang, Ustadzah.”
“Anak – anak, ternyata bukan pengawal kedua yang memenangkan perlombaan ini, melainkan yang pengawal ketiga.”
“Kenapa, Ustadzah? Bukankah pengawal ketiga tidak bisa menumbuhkan satu senti pun batang kacang hijau?” Kali ini Shafira mengangkat telunjuk. Aku bahagia karena kurikulum yang dibuat sekolah agar murid dapat berkomunikasi dengan baik sudah nampak berhasil.
“Begini anak-anak, ternyata biji kacang hijau yang diberikan raja kepada ketiga pengawalnya bukan biji kacang hijau asli, namun hanya sebuah tanah liat yang dibentuk mirip kacang hijau, hingga ketiganya tidak dapat mengetahui kalau itu bukan kacang hijau asli.
“Sebenarnya, di hari – hari pertama, ketiga pengawal sama – sama merawat biji kacang hijau palsu dengan rajin sekali. Pagi, siang, sore hari disiramilah biji kacang hijau palsu itu. Hingga pada hari ke empat, ketiga pengawal merasakan ada yang aneh pada biji kacang hijau tersebut. Biji kacang hijau itu tidak mau menumbuhkan batangnya walau sudah dirawat secara rutin selama empat hari. Karena tergiur oleh hadiah yang dijanjikan oleh sang raja, maka pengawal pertama dan kedua, mengganti biji kacang hijau yang palsu dengan biji kacang hijau yang dibelinya di pasar, tentu saja tanpa ada yang mengetahui. Sedangkan pengawal ketiga tidak memiliki pemikiran yang sama dengan kedua temannya, dia terus saja menyirami biji kacang hijau palsu itu tanpa menggantinya.
“Raja tahu pasti kalau biji kacang hijau pemberiaanya tidak akan tumbuh. Karena sebenarnya, di perlombaan ini raja hanya ingin melihat seberapa jujur pengawal – pengawal yang dimilikinya. Maka setelah dua kali dibuat kecewa melihat dua pengawalnya berlaku tidak jujur dengan mengganti biji kacang hijau karena tergiur hadiah, raja kembali dibuat bangga oleh pengawal ketiga yang masih tetap jujur, tidak mengganti biji kacang hijau palsu walau dia yakin dia tidak akan memenangkan perlombaan.
“Dan, pada akhirnya raja memberikan hadiah kepada pengawal ketiga yang jujur itu dan mengangkatnya menjadi menteri kerajaan. Sedangkan dua orang pengawal yang tidak jujur diturunkan dari jabatannya.” Murid-muridku mengangguk-anggukkan kepala, lucu sekali melihatnya.
“Begitulah anak-anak orang yang jujur itu pasti selalu beruntung, jadi mulai saat ini  Ustadzah kepingin agar kalian selalu berlaku?”
“Jujuuuur….” Kembali mereka mengeluarkan suara koor dengan  penuh semangat.
“Ustadzah Faizah…” Putri mengacungkan telunjuknya.
“Iya, Nak?”
“Minggu depan, cerita lagi ya? Yang lebih seru…” Aku tercekat mendengarnya, padahal hari ini, usai jam pelajaran ini aku berencana untuk berpamitan kepada mereka. Aku ingin katakan kepada mereka sebuah salam perpisahan, namun demi melihat wajah polos yang penuh harap ini, aku membatalkan ucapan perpisahan itu. Jujur, aku tidak mampu. Mereka belum tahu bahwa aku akan menikah besok pagi dan akan meninggalkan Surabaya hari minggunya. Kuatkan aku, Tuhan.
***
“Assalamualaikum…” Kuketuk pintu rumahku yang masih tertutup. Tidak ada jawaban. Kuucapkan salam sekali lagi, berharap si empunya rumah (Ayah) menjawab salam lalu membukakan pintu untukku. Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Kulihat jam yang menempel di pergelangan tangan kiriku, sudah jam lima sore. Tidak biasanya Ayah tidak ada di rumah. Ah, mungkin beliau masih sibuk mempersiapkan walimah pernikahanku besok pagi. Iseng ku raih ganggang pintu, lalu menekannya ke bawah. Terbuka. Kenapa tak terkunci? Batinku bertanya. Lelah sedari tadi di sekolah membuatku malas berfikir kemana Ayah dan mengapa pintunya tak terkunci. Aku haus, aku ingin minum air dingin yang ada di lemari es, aku juga ingin merebahkan sejenak tubuhku di atas kasur sekedar melemaskan otot – otot tubuh yang tegang akibat aktivitas di sekolah tadi. Ku buka lemari es lalu kuambil botol sirup yang sudah berganti isi menjadi air putih. Tiba – tiba ekor mataku menangkap ada selembaran kertas di atas meja makan samping lemari es. Merasa penasaran, aku coba meraih kertas tersebut, aku tersedak melihat goresan tinta menyusun kalimat di kertas tersebut, ini tulisan tangan Ayah.
Ratih, bagaimana kabarmu di sana? Sudah sepuluh tahun kau meninggalkan kami di sini. Jujur, aku rindu sekali kepadamu. Tanpa kehadiranmu, kami selalu saja merasakan kekurangan. Ratih, Sabtu besok Faizah akan menikah. Namun aku merasa bersalah karena aku tidak memberikan pilihan kepadanya. Setelah menikah, dia akan tinggal di Batam, meninggalkan semua yang dia cintai di kota ini. Meninggalkanku, meninggalkan Sekolah At-Taqwa yang dia perjuangkan sedari awal. Aku merasa bersalah, karena setelah dikhitbah dia lebih banyak merenung. Mungkin dia sangat sedih karena harus meninggalkan At-Taqwa, meninggalkan dunia pendidikan  yang sangat dia cintai. 
Ratih, terimakasih sudah membesarkan Faizah dengan sepenuh kasih sayang. Apakah engkau tahu bahwa saat ini Faizah tumbuh menjadi perempuan yang tangguh? Semenjak sepeninggalmu, Faizah selalu berusaha membahagiakanku. Dia tidak ingin mengecewakanku, sebab itulah dia mengambil keputusan untuk menikah dan tinggal di Batam. Ratih, apakah engkau tahu bahwa Faizah selalu merindukanmu? Semalam dia memanggil-manggil namamu dalam tidur. Dia menangis dengan mata terpejam. Dia ingin bertemu denganmu walau hanya mimpi.
Andaikan kau masih ada di sini.
 ***
Kapal-kapal berjajar, berparkir rapi di sisi Dermaga Batam Centre. Sekelompok merpati berterbangan membelah awan yang menggumpal di langit. Satu dua kapal bergerak menjauhi pelabuhan, nakhoda kapal membunyikan klakson menyapa kapal lain, yang di sapa membalas dengan bunyi klakson yang sama. membuat ramai suasana dermaga. Di sisi timur terlihat hotel dan apartement yang menjulang tinggi. Belum lagi pemandangan pantai yang luarbiasa indah dan alami. Tak heran jika Batam semakin diminati turis yang ingin traveling di pulau ini setiap tahunnya.
Dua minggu sudah aku berada di pulau yang berdekatan dengan Singapura ini. Pernikahanku dua minggu yang lalu berjalan sangat lancar. Teman-teman di At-Taqwa datang memberikanku do’a barokah. Yang menjadi surprise adalah kedatangan murid-muridku, mereka berinisiatif untuk datang memberikan kado kepadaku. Aku tersenyum saat membuka isinya. Rumah yang kutinggali pun lebih dari layak (kalau tidak disebut mewah). Sejak satu minggu yang lalu, suamiku mulai aktif menjalankan bisnisnya.
“Dik, aku boleh bertanya sesuatu?” Suamiku memandangiku serius, menghentikan langkahnya menyusuri pantai, aku yang digandengnya terpaksa berhenti melangkah. Terpaan angin pantai membuat ujung jilbabku melambai.
“Tanya apa, Mas?”
“Sebelumnya aku minta maaf jika aku belum bisa menjadi suami yang pengertian, tapi aku berjanji akan belajar untuk itu”
“Mengapa, Mas berkata seperti itu?” Aku balik memandangi suamiku, melipat dahi.
“Faizah, aku ini suamimu. Apa yang kau pikirkan adalah pikiranku, apa yang kau sedihkan itu juga sedihku, kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku. Selama dua minggu kita menikah, aku belum pernah sekalipun melihat dirimu tersenyum, kau selalu murung. Dan, itu membuatku tersiksa merasa bersalah.” Terpaan ombak kecil membasahi kaki, memanjakan jari – jari.
“Maafkan aku, Mas.”
“Apa arti At-Taqwa di hatimu?” Demi mendengar pertanyaan suamiku, aku memandangnya lekat – lekat sembari melipat dahi. Mengapa tiba-tiba dia menyebut At-Taqwa?
“Maksud, Mas?” Aku melipat dahi.
“Isteriku, sudah kukatakan bahwa sedihmu adalah sedihku. Melihatmu selalu termangu membuatku gelisah dan selalu bertanya-tanya dalam hati apa yang terjadi pada dirimu akhir – akhir ini. Karena takut terjadi sesuatu pada dirimu, akhirnya kemarin aku memutuskan untuk menghubungi Ayah di Surabaya. Menjelaskan tentang keadaanmu selama dua minggu ini. Dan, dari Ayah pulalah kudapati bahwa kau rindu At-Taqwa.
“Maafkan aku yang tidak mengerti keadaanmu, tidak mengerti bahwa kau sangat menyukai pendidikan islam, bertemu anak-anak, bekerja dengan orang – orang yang sefaham. Tapi mengapa kau tidak mengatakannya sedari awal? Megapa kau tidak menolak persyaratan yang diajukan oleh Umi untuk tinggal di sini?” Suara suamiku terdengar tegas dan mantap. Debur ombak menggulung-gulung di tengah pantai, mulai mengecil saat akan menyentuh bibir pantai, dan hanya menjadi riak air saat menyentuh kaki.
“Aku takut jika menolak pernikahan kita batal, dan akhirnya akan mengecewakan Ayah kembali.” Kembali kerudungku di saput angin lembut. Melambai.
“Hehe, seharusnya kau katakan dari awal bahwa kau tidak ingin pindah ke Batam dengan alasan ingin mengabdikan diri menjadi guru di At-Taqwa, aku tidak akan keberatan. Karena aku menyukaimu saat kali pertama aku memandangmu. Itulah sebabnya aku meminta bantuan Laila untuk mengenalkanku kepadamu.” Kalimat terakhir suamiku membuat pipiku merona. Dia membalas dengan senyuman manis.
“Besok, kita pulang…”
“Pulang kemana?” Tanyaku.
“Kemana lagi? Ya, ke Surabaya. Kita akan tinggal di sana. Bukankah kau merindukan anak-anak? Atau begini saja, di Ayah kan sendirian tinggal di Surabaya. Bagaimana kalau kita juga tinggal bersama Ayah? Yah, hitung-hitung menemani Ayah di hari tuanya.”
“Bagaimana dengan bisnismu di sini?”
“Sayang, ini zaman sudah modern, aku bisa memantau bisnisku di sini lewat internet. Aku akan mengutus beberapa karyawanku untuk mengelola bisnisku di sini. Semuanya bisa diatur. Yang terpenting engkau bahagia.” Kupeluk tubuh bidang suamiku dengan sepenuh kegembiraan dan rasa syukur. Entah, mendengar kalimat suamiku, semangatku mulai bermekaran dalam hati. Semangat yang hilang semenjak ‘kesepakatan’ itu.
Tuhan, aku tahu kau tak pernah tidur. Kau tak pernah lelah mengurusi hamba-hamba-Mu, selalu mengetahui dan memberikan segala apa yang kami butuhkan. Tuhan, terimakasih Kau telah anugrahkan kepadaku keluarga yang baik, sahabat yang baik, dan murid-murid yang baik.
 Tuhan, Engkau tahu bahwa aku sangat mencintai At-Taqwa, lembaga pendidikan yang tidak hanya mengajarkan murid-muridnya agar berilmu pengetahuan yang luas, tetapi juga menanamkan nilai keimanan kepada-Mu agar tumbuh bersemi menjadi insan yang bertaqwa kepada-Mu. Menanamkan kepribadian sesuai dengan kepribadian Rasul-Mu yang mulia. Tuhan, saat aku mendengar celoteh cadel mereka, senyum canda mereka, serta memandangi wajah polos mereka, aku merasa ada sengatan semangat yang ada di dalam jiwa ini. Sengatan yang membuatku selalu berusaha untuk menjadi teladan yang baik bagi mereka. Hingga jika ada orang yang bertanya lagi kepadaku apa arti At-Taqwa di hatiku. Maka, dengan tegas akan kujawab, “Di sinilah aku merasakan bahagia.”  

Surabaya, 16 Oktober 2012