Disinilah Aku Merasakan Bahagia
Kamis, Pukul 09.00 wib
Sang surya sudah mulai menjauhi ufuk timur. Sinarnya pun
mulai siap menyengat kulit-kulit yang tak terlindungi. Berbeda pada saat
kulihat subuh hari tadi, saat sang raja siang ditemani gumpalan awan yang
mengapas di atmosfer masih malu-malu merangkak naik melewati garis horizon,
semburat warna jingga yang berpendar di langit – langit menciptakan lukisan
alam yang membuat siapapun yang memandangnya akan terpesona dengan betapa ajaib
rahasia perguliran siang dan malam.
Di masjid. Usai melaksanakan empat rokaat shalat dhuha,
kutengadahkan kedua tangan melepaskan segala keluh kesah kepada Sang Pemilik
nyawaku. Bulir demi bulir air mataku mengucur begitu saja tak terkendali.
Tinggal dua hari lagi. Dua hari mungkin akan menjadi pembeda hidupku saat ini
dengan masa mendatang.
Allah, waktu dhuha
ini adalah milik-Mu.
Segala keagungan
adalah milik-Mu.
Segala keindahan
adalah milik-Mu.
Terdengar suara riang (kalau tidak disebut bising)
siswa-siswi yang sedang menikmati waktu istirahat. Tujuh delapan anak kelas
satu bergantian bermain seluncuran, sedang yang kelas empat sampai kelas enam
lebih banyak bermain bola di lapangan tengah sekolah. Sambil menjilat es krim,
sebagian siswi asyik bercanda dengan teman sejawatnya. Seru. Sementara di teras
depan perpustakaan sekolah, terlihat sekitar enam orang anak tenggelam oleh
cerita yang ada pada buku yang dibacanya.
Bahwa, segala
kekuatan adalah milik-Mu.
Segala kekuasaan
adalah milik-Mu.
Segala
perlindungan adalah milik-Mu.
Ibu – ibu yang mengantar anaknya (biasanya kelas satu)
duduk bercakap – cakap dengan ibu – ibu pengantar lainnya di teras masjid, satu
dua kali kesempatan mereka melihat keadaan anaknya yang sedang asyik bermain
perosotan di halaman sekolah, tak jarang pula mereka mengingatkan kepada buah
hatinya untuk hati – hati saat bermain. Yang diingatkan tidak menghiraukan
sedikitpun, terus saja bermain. Berceloteh riang bersama teman sejawatnya.
Ya Allah, jika rezekiku masih di atas
langit, mohon turunkanlah.
Jika masih ada di dalam bumi, mohon keluarkanlah.
Cahaya matahari
berpendar menerangi bumi di bagian timur, sorot sinarnya menemani manusia yang
larut dalam rutinitas harian. Aku semakin tenggelam dalam kekhusukan ‘curhat’
kepada-Nya. Entah sudah berapa bulir air mata yang menetes membasahi mukenaku.
Tinggal dua hari. Dua hari yang menentukan perjalananku ke depan. Namun,
biarlah. Biarlah, Engkau saja yang berdaulat menentukan arah langkahku. Karena
aku sangat yakin Engkau tahu mana yang tepat untuk memberikan yang terbaik.
Jika masih sulit, mohon mudahkanlah.
Jika masih haram, mohon sucikanlah.
Jika masih jauh,
Ya Allah, maka dekatkanlah.
Entah mengapa, dengan melakukan sholat ‘pemancing’
rezeki ini, aku merasakan ada energi baru yang merasuk dalam jiwa dan
mengalirkannya ke raga. Aku merasakan segala kepenatan dalam seperempat hari
ini berganti kenikmatan serta kelapangan batin. Mungkin ini adalah salah satu
bukti janji-Nya, bahwa siapa yang mendawamkan sholat dhuha, maka rezeki akan
selalu mengalir. Bukankah kelapangan batin juga termasuk rezeki?
Limpahkan kepada
kami keberkahan.
Seperti yang telah
Engkau limpahkan kepada hamba – hamba-Mu yang shalih.
Terlintas tentang momen ‘kesepakatan’ku dengannya dua
bulan yang lalu. Juga terlintas wajah Ayah yang menatapku penuh makna saat
mendengar jawabanku atasnya. Walau masih terasa berat kurasa, namun kali ini
kucoba menaruh segenap harap kepada Sang Pembolak-balik hati ini. Jika ini yang
terbaik bagiku dan keluargaku, walau berat akan aku lakukan. Biarlah aku luruh
ke bumi seperti sehelai daun. Daun yang tak pernah membenci angin meski harus
terenggutkan dari tangkai pohonnya.
***
Dua bulan yang lalu…
“Kalau Ustadzah Faizah mensetujui rencana ini. Maka
pernikahan ini dapat dilaksanakan dua bulan lagi. Untuk segala keperluan dan
persiapan, InsyaAllah keluarga kami
yang akan mengaturnya.” Suara perempuan berusia sekitar setengah abad itu
terdengar berwibawa. Aku yang diajak bicara hanya dapat menatapnya tenang.
Percakapan ini terjadi tepat di hari ke tujuh belas
dalam bulan keempat kalender masehi atau dua hari sebelum aku berulang tahun
yang ke dua puluh enam. Walau tak pernah menanyakannya secara langsung
kepadaku, namun aku tahu bahwa Ayah pasti menginginkan putri sulungnya (aku)
untuk segera berumah tangga. Beberapa kali beliau melihat tetangga menimang
bayi, Ayah selalu berkata “Bahagia sekali kalau Ayah bisa mengendong cucu.” Aku
hanya tersenyum ringan. Sebenarnya sebelum ini sudah ada dua orang yang
memintaku agar menikah dengannya, namun aku menolak keduanya. Kulihat semburat
rasa kecewa di air wajah Ayah saat mengetahui bahwa aku menolak keduanya waktu
itu.
“Aku masih ingin
mengajar anak-anak, Yah.” Itu yang kukatakan kepada Ayah, dia hanya merespon
alasanku dengan anggukan kepala. Dia tak pernah memaksaku secara verbal. Namun,
aku selalu dapat merasakan aroma kekecewaannya. Ah, sudah dua kali aku
membuatnya kecewa. Demi melihat wajahnya yang sendu, hatiku miris merasa
bersalah takut tidak bisa membahagiakannya di dunia ini. Dan, aku berjanji pada
diriku sendiri untuk segera memenuhi keinginannya itu.
Dan, akhirnya
kesempatan itu datang kembali. Ustadzah Laila, teman satu kantorku memberikan
informasi bahwa ada salah satu temannya yang ingin meminangku. Dengan segala
pertimbangan, aku mengiyakan untuk ber-ta’aruf,
maka terjadilah pertemuan keluarga ini. Pertemuan ini merupakan yang ketiga
kalinya aku dilamar seseorang. Aku sudah tidak ingin mengecawakan Ayah lagi.
Namun, di saat
keputusanku sudah bulat menerima lelaki berusia 27 tahun itu untuk menjadi
suamiku. Kendala mulai muncul dengan persyaratan yang diajukan oleh keluarganya
kepadaku. Keluarga lelaki ini ternyata keluarga pebisnis yang sukses,
perusahaannya memiliki cabang hingga di seluruh kota di nusantara. Dan, rencananya jika sudah
menikah mereka menginginkan aku bersama suamiku tinggal di Batam demi mengurus
perusahaan keluarga yang ada di sana.
Sebuah persyaratan yang bagaikan kerikil tajam menanti tepat di depan jalan
hidupku. Ingin aku tolak persyaratan tersebut, tapi aku sudah berjanji kepada diri sendiri bahwa aku tidak
akan mengecewakan Ayah lagi. Sebuah penolakan dariku berarti kekecewaan bagi
Ayah.
Ayah yang duduk di sampingku, menundukkan pandangannya
ke lantai. Ayah sangat paham bahwa aku mencintai dunia pendidikan. Ayah juga
paham bahwa aku bahagia menjadi bagian dari sekolah At-Taqwa. Menjadi bagian
dari pendidik putra-putri bangsa menjadi
generasi Qur’ani. Dan, persyaratan untuk mengikuti suami tinggal di Batam,
berarti aku harus meninggalkan sekolah ini, sekolah yang kucintai ini. Ayah
tahu, aku sedang gamang. Oleh sebab itulah dia tidak berani menatapku apalagi
memaksakan kehendaknya atasku. Mungkin dia sudah percaya bahwa aku dapat
mengambil keputusan dengan pertimbangan yang matang.
Tiga menit berlalu tanpa jawaban yang jelas dariku…
“Bagaimana Ustadzah Faizah?” Suara wibawa perempuan
paruh baya itu kembali mengisi ruang tamu rumahku.
“Umi, mungkin Faizah masih butuh pertimbangan. Jadi
berikan kesempatan kepadanya untuk mengambil keputusan. Maafkan kami Faizah,
jika dianggap terlalu memaksa.” Kali ini lelaki berusia 27 tahun itu yang
mengambil alih pembicaraan. Perempuan yang dipanggil umi menganggukkan kepala,
tanda setuju. Aku menatap lekat lelaki yang akan menjadi bakal calon pendamping
hidupku, sepertinya dia terbiasa mencairkan suasana. Teh hangat yang ada
kusajikan kepada tamuku ini sudah mulai dingin.
Ini tidak akan mudah. Tapi aku harus ambil keputusan.
Aku menghirup udara dalam – dalam, menahannya sebentar
dalam dada, dan menghembuskannya pelan. Suara tak tik tok jam dinding terdengar
cukup keras. Cicak yang merambat di dinding menghentikan aktivitasnya mencari
makan, seakan ingin juga menguping keputusanku. Kupejamkan sebentar kedua bola
mata dengan kelopak. Terlintas dalam pandangan mayaku bayangan anak – anak yang
sedang menyambut kedatanganku di kelas, celoteh cadel menggemaskan dari
sebagian mereka yang tak jarang membuatku tersenyum lebar.
Tuhan, mohon
berikan aku yang terbaik.
Bismillah…
“Baiklah, aku terima pinangan ini berserta persyaratan
yang diajukan keluarga Umi kepadaku, dan kita akan atur jadwal pernikahannya…”
Aku sudah
mengatakannya. Aku sudah menerimanya. Menerima dengan syarat yang diberikan.
Meninggalkan At-Taqwa. Ayah menaikkan pandangannya kepadaku, menatapku tanpa
satu katapun, namun aku dapat menafsirkan tatapan itu : apakah kau yakin, Nak? Aku balas menatapnya dengan anggukan ringan.
Lelaki berusia 27 tahun yang duduk di depanku mengucapkan syukur. Satu sisi hatiku merasa bahagia, karena aku
dapat menunaikan keinginan Ayah, namun sisi hatiku yang lain masih berat
meninggalkan At-Taqwa. Meninggalkan lembaga pendidikan islam yang ada di Surabaya bagian barat ini.
“Apakah kamu yakin dengan keputusanmu, Nak?” Setelah
mengantar keluarga calon besan hingga di halaman rumah, Ayah menatapku sendu.
Ayah pasti mengerti bahwa tadi aku sangat sulit mengambil keputusan. Aku yang
ditanya hanya tersenyum getir.
“Apakah kamu benar – benar siap meninggalkan At-Taqwa?”
Aku bingung harus menjawab apa? Aku nyaman berada di tempatku mendidik saat
ini, bertemu dan mengajari anak-anak yang masih polos dan lucu membuatku
bahagia. Terus terang aku sepenuhnya belum siap meninggalkan At-Taqwa, sekolah
yang jatuh bangun kami dirikan. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah berjanji
untuk tidak membuat Ayahku kecewa lagi. Aku sudah berjanji untuk segera
memenuhi keinginannya, yakni melihatku menikah.
“Iya, Yah.”
“Maafkan Ayah yang tidak bisa memberikan pilihan
kepadamu, Nak.”
“Ayah, harusnya Faizah yang meminta maaf, karena sudah
dua kali menolak pinangan laki-laki. Bukankah Ayah menginginkan agar aku
bersegera menikah?”
“Maafkan Ayah.”
Hampir saja aku menangis dihadapan Ayah. Sebelum
benar-benar mengucurkan air mata, aku membalikkan badan dan melangkah menuju
kamar tidur.
“Faizah mau istirahat dulu ya, Yah.”
Tiba-tiba hatiku merasakan kerinduan yang teramat sangat
kepada Ibu. Andaisaja Ibu masih hidup, aku ingin bertemu dengannya, sekedar
memeluknya dan meluapkan keluh kesah yang mengumpal dalam hati. Aku mengambil
wudhu, lalu kurebahkan badan di atas kasur, berharap secepatnya dapat tertidur.
Dengan begitu, walau hanya dalam hitungan beberapa jam, aku dapat melupakan
kegelisahanku. Ibu, apakah engkau di sana
tahu bahwa saat ini aku sangat merindukanmu?
***
Kamis, Pukul 09.15 wib
Aku sudah duduk di teras depan perpustakaan, enam siswi
yang kulihat dari dalam masjid masing – masing masih tenggelam dalam alur
cerita buku yang dibaca. Mereka tidak merasa risih akan kehadiranku, malah ada
yang mempersilahkanku duduk di sampingnya. Inilah yang kusuka menjadi seorang pendidik
di At-Taqwa. Budaya egaliter yang dibuat sedemikian rupa oleh sekolah
menjadikan siswa tidak merasa ada jarak secara emosi dengan para guru. Inilah
pula yang membuat anak-anak lebih care
mengungkapkan permasalahan belajarnya, tanpa takut diomeli oleh guru.
Para siswa kelas atas masih bersemangat bermain bola, setiap bola
berpindah kaki, pemain lain berteriak-teriak agar diberi umpan. Seru sekali.
Mungkin mereka tidak sadar kalau bulir-bulir keringat mulai bercucuran dari
pori-pori kulit dan membasahi seragam putih hijau yang dipakai. Di sisi
lapangan, anak-anak kelas bawah masih riang bergantian bermain seluncuran,
tertawa lepas mengabaikan peringatan orang tua mereka agar selalu berhati –
hati. Indah sekali hidup seperti mereka, riang bermain bersama, bergurau, tiada
iri hati serta dengki, semuanya terasa damai.
“Ustadzah Faizah, Alif punya pelmen… ustadzah mau?” Aku
menoleh ke arah sumber suara. Aku sangat hafal siapa pemilik suara cadel ini.
Tidak salah lagi, pastilah Arif Azzam, muridku yang lucu. Dia masih duduk di
kelas satu. Walau masih kelas satu (dan belum benar-benar bisa mengucap huruf
“R”), kemampuan menangkap pesan dari guru benar – benar menakjubkan.
Dua minggu yang
lalu aku mengisi pelajaran IPS di kelas yang ditempati Arif. Aku mengatakan
bahwa berbagi itu dapat memperbanyak teman, disayang orang tua, dan yang paling
penting disayang Allah, hingga pada akhirnya orang – orang yang suka berbagi
akan memasuki surga. Aku juga menambahkan bahwa kalau di surga itu kita bisa
memiliki apa saja yang kita mau.
“Belalti kalau sudah di sulga Alif bisa punya helikoptel sendili, ya, Ustadzah?” Arif
mantab mengacungkan tangannya. Aku yang ditanya mengangguk dibarengi senyum
geli. Sejak saat itulah apapun yang dimilikinya pasti habis dibagi-bagikan. Seperti
permen ini. Ibunda Arif pernah bilang kepadaku kalau setiap hari Arif merengek
untuk dibelikan permen satu bungkus. Saat ditanya mengapa kok banyak sekali
beli permen? Arif menjawab “Mau Alif bagi-bagikan ke teman – teman, Bial nanti
Alif punya helipkoptel sendili. Begitu kata Ustadzah Faizah.” Aku dan Ibunda
Arif tertawa geli mendengarnya.
“Iya, Arif.
Ustadzah mau minta permennya satu, boleh?”
Arif menjawabnya dengan anggukan kepala, lalu memberikan
permen lollipop rasa coklat kepadaku.
“Terimakasih, anak shaleh.”
Lagi-lagi Arif menjawabnya dengan anggukan kepala. Lalu
berlari meninggalkanku, mungkin misi menyebarkan permennya belum kelar.
Ah, tanyakan kepada semua pendidik yang berhati tulus.
Apa yang paling membahagiakan di dunia ini? Aku berani menjamin jawabannya
pasti saat pesan yang kita sampaikan benar-benar menghujam dalam benak siswa
dan siswa bersemangat untuk mengaplikasikan pesan itu dalam perilaku
kesehariannya. Seperti aku saat ini, aku sangat bahagia karena pesanku
terejawantahkan oleh perilaku seorang Arif. Namun, mungkin dua hari lagi aku
tidak akan bersama murid-muridku ini lagi.
***
Tubuhku melayang tepat di atas lahan yang lapang, lahan
itu dipenuhi bunga-bunga bermekaran. Mawar, melati, bunga matahari, anggrek,
tulip menampakkan keindahannya masing-masing. Aroma yang dipancarkan oleh
masing-masing bunga memanjakan indera penciumanku. Aku terus mengambang di
awang-awang menikmati luas hamparan yang sepanjang mata memandang dipenuhi
bunga – bunga yang sungguh luar biasa indahnya.
Tubuhku masih melayang – layang. Tiba-tiba ekor mataku
menangkap sesosok perempuan bergamis putih cemerlang berdiri di dekat
sekelompok bunga matahari, perempuan yang tak asing lagi dalam kehidupanku.
Kutolehkan pandangan untuk memastikan, bukankah itu Ibu? Tubuhku masih
melayang, perempuan itu tersenyum seraya melambaikan tangannya kepadaku sebagai
isyarat kemarilah, Nak. Ibu, tidak
salah lagi itu Ibu.
“Ibu…” Sekuat tenaga aku memanggilnya, yang kupanggil
hanya tersenyum kepadaku. Aku berusaha untuk turun lagi ke tanah, namun tak
bisa. Ku arahkan tubuhku yang melayang agar aku dapat memeluknya, namun tak
bisa. Lambaian tangan Ibu membuatku semakin berusaha untuk lebih dekat
dengannya, sekuat tenaga namun tetap nihil.
“Ibu…” Aku berteriak memanggilnya. Ibu hanya tersenyum
kepadaku, wajah cantiknya berkilau tersaput cahaya.
“Ibu, aku merindukanmu, aku ingin sekali memelukmu.” Aku
kembali berteriak, aku menangis, kenapa saat bertemu seperti ini aku tidak bisa
lebih dekat dengan Ibuku. Aku merasa tubuhku sudah tidak bisa berbuat apa-apa
selain mengambang di awang-awang. Di bawah sana Ibu menatapku sendu.
“Apakah Ibu tahu, aku di sini selalu menanti dirimu?
Menanti dapat bertemu kembali denganmu. Aku menunggumu hingga ujung waktu. Ibu,
ijinkan aku memeluk dirimu kali ini saja, kumohon, Bu…” Aku berteriak,
menangis. Kembali Ibu menatapku sendu, kali ini tanpa senyuman.
***
“Oi, calon kemanten
anyar kok melamun saja sih?” Ustadzah Laksmi membuyarkan lamunanku tentang
mimpiku bertemu Ibu kemarin malam.
“Ada
apa, Faizah?”
“Tidak ada apa-apa kok, Laksmi.”
“Tidak mungkin kalau tidak ada apa-apa. Ayolah, aku ini
sahabatmu sejak kuliah, jadi aku tahu tentangmu. Kuperhatikan akhir-akhir ini
kau sering melamun. Tidak biasanya aku melihat kau seperti ini. Ada apa?”
Ustadzah Laksmi adalah guru matematika di sekolah ini.
Dulu, waktu masih sama – sama berstatus sebagai mahasiswa, kami sering bertemu
dalam kegiatan Sie Kerohanian Islam (SKI) kampus. Aku bersahabat baik
dengannya. Dia tipe teman yang care,
periang, dan komunikatif (kalau tidak disebut cerewet). Lamanya waktu
bersahabat dengannya, membuatku paham akan karakternya, masakan apa yang paling
favorit baginya, serta binatang apa yang membuatnya ketakutan. Sebaliknya, dia
juga mengerti sifat-sifatku, dan sisi-sisi lain dariku. Mangkanya, dia dapat
menebak kalau saat ini aku pasti memiliki masalah.
“Entahlah, Laksmi.” Aku belum bisa memulai cerita ini
darimana.
“Dua hari lagi kau akan menikah, harusnya kau bahagia,
Faizah.”
“Tapi aku tidak bisa jika harus meninggalkan At-Taqwa,
kawan.”
Matahari merangkak meninggi secara konstan, dan kini ia
berada tepat di tengah garis katulistiwa. Dari lantai tiga, aku menatap
lapangan sekolah yang tadi pagi di buat bermain bola oleh anak-anak. Di depan
ruangan audio visual, tertampang banner
bertuliskan : “Our Selves, Ibda’
Binafsik”.
Laksmi menjawil rusukku, terseyum geli, “Emm, kau memang
guru teladan di sini, Faizah.
“Kau mencintai sekolah ini, kau juga sangat bahagia
mengajar anak-anak. Dan, anak-anak sangat senang jika mata pelajarannya engkau
yang mengisi. Pindah ke Batam bukanlah sesuatu yang kau inginkan, bukan?
“Kau sangat peduli dengan pendidikan Islam. Enam tahun
yang lalu, mati-matian kau bersama pendiri At-Taqwa yang lainnya membesarkan
sekolah ini. Pagi hingga siang hari kau rela berjalan ke perumahan-perumahan untuk menyebarkan
brosur Sekolah At-Taqwa secara door to
door. Peluh bercururan membahasi jilbab lebarmu. Saat kutanya mengapa kau
melakukan hal senekat itu? Apakah kau ingat apa jawabanmu kepadaku?”
***
Tentu saja aku ingat. Usiaku baru memasuki dua puluh
tahun saat itu. Sedang usia At-Taqwa masih berbilang bulan. Waktu itu At-Taqwa
hanya membuka kelas Taman Kanak-kanak. Bersama
Laksmi, dan ketiga Ustadzah yang lainnya, kami berlima berinisiatif untuk
‘memasarkan’ sekolah ini secara door to
door. Sejujurnya ini adalah inisiatifku. Awalnya teman-teman pesimistis,
apakah cara yang dilakukan ini efektif, mengingat di Surabaya cukup banyak berdiri sekolah –
sekolah islam yang memiliki reputasi mengkilap. Namun, aku meyakinkan mereka
bahwa selama ada kemauan, maka di situ pastilah ada jalan.
“Kalau bukan kita
yang bergerak, siapa lagi yang akan mensyiarkan agama ini?” Kalimat itu
meluncur dari bibirku saat Laksmi bertanya mengapa aku harus nekat door to door mengenalkan At-Taqwa kepada
khalayak. Yang lainnya mengangguk setuju. Jadilah kami berlima mengeksekusi
marketing dari perumahan satu ke perumahan yang lainnya.
Man Jadda Wa Jada, siapa bersungguh-sungguh dia akan berhasil. Itu pepatah Arab yang
tidak bisa disangkal lagi kebenarannya. Terbukti setelah selama dua bulan kami
mengenalkan At-Taqwa dari rumah ke rumah, dari perumahan ke perumahan, jumlah
murid mulai bertambah secara signifikan.
Tapi masih ada yang kurang, begitu menurut Ustadzah
Alfiah, bahwa lembaga ini butuh orang yang dapat memanage serta membuat kurikulum sekolah dengan baik. Maka kembali
kami mencari orang yang tepat untuk menjadi direktur At-Taqwa. Akhirnya kami
berkenalan dengan salah satu pendiri sekolah Islam ternama di Surabaya. Kami menawarinya menjadi direktur
dan dia mengiyakannya. Perubahan demi perubahan yang positif terus terjadi,
pendidikan berkarakter serta kurikulum Visi Semesta yang ditawarkan membuat
para wali murid tidak ragu untuk menitipkan putra – putrinya belajar di sekolah
ini.
***
“Kau sudah berhasil, Faizah. Kau sudah berhasil
membangun satu lembaga pendidikan islam yang kuat. Kau lihat, usahamu
membuahkan hasil.
“Lihatlah, murid – murid kita yang sangat membanggakan,
dan itu tak lepas dari usahamu bersama saat membabat
alas sekolah ini.” Laksmi memandangi pemandangan perumahan sekitar dari
lantai tiga gedung sekolah.
“Aku akan selalu merindukan At-Taqwa.” Aku menatap
Laksmi yang masih hikmat menatap pemandangan di luar sana. Demi mendengar suaraku yang berat,
Laksmi mengarahkan tatapannya kepadaku.
“Kami akan merasa kehilanganmu, Faizah. Semoga kau
bahagia di Batam. ”
Entah mengapa, akhir – akhir ini air mataku mudah sekali
keluar dari kelenjar. seperti saat ini, aku sudah berkaca-kaca, Laksmi pun
demikian.
***
Jum’at, Pukul 08.00 wib
Aku memasuki ruang kelas, hari ini aku mengajar mata
pelajaran PKn. Sesuai kesepakatan dua bulan yang lalu, hari ini adalah hari
terakhir aku mengajar di At-Taqwa, sebelum besok pagi aku harus menikah dan
terbang ke Batam. Teman – teman di kantor banyak yang melipat dahi demi
melihatku masih masuk kerja, padahal besok aku menikah. Aku katakan pada
mereka, ini hari terakhir aku berada di Surabaya,
setidaknya aku ingin berpamitan kepada murid-muridku. Mereka tersenyum. Ah, aku
tidak mau melewatkan sedetikpun kedekatanku sedikitpun bersama anak-anak.
“Assalamualaikum anak-anak, hari ini Ustadzah Faizah
akan bercerita…Dan, Ustadzah akan mulai bercerita jika kalian duduk dengan
shalih.” Demi mendengar ceritaku anak-anak
yang masih gaduh segera merapikan diri masing – masing. Aku tersenyum
geli melihat tingkah mereka. Sudah sangat alamiah bila anak-anak lebih suka
pelajaran yang dibungkus dengan cerita – cerita atau dongeng. Jam dinding ber
tak tik tok pelan, Air Conditioner
mengembuskan udara segar bersuhu 23 derajat celcius, membuat seisi kelas nyaman
pada tempat duduknya masing-masing.
“Baiklah, suatu ketika ada seorang raja yang ingin
menguji ketiga pengawal setianya. Raja tersebut mengumumkan kepada ketiganya
untuk mengikuti perlombaan. Lombanya sederhana, hanya menanam kacang hijau.
Siapa yang dalam waktu tiga minggu bisa menumbuhkan batang paling panjang,
dialah pemenangnya. Dan, bagi pemenang akan mendapatkan hadiah berupa rumah
mewah dari sang raja.
“Lalu, sang raja memberikan satu biji kacang hijau
kepada ketiga pengawalnya. Disaksikan oleh pejabat tinggi kerajaan, perlombaan
pun dimulai.” Aku menatap wajah anak-anak yang antusias mendengarkan ceritaku,
meraba-raba ending cerita. Teruskan Ustadzah, begitu maksud tatapan
mereka.
“Satu dua hari mereka menanam biji kacang hijau
pemberian raja ke dalam gelas berisi kapas, setiap harinya mereka siram biji
tersebut. Itu dilakukan mereka secara terus menerus, rutin tanpa pernah
meninggalkan biji kacang hijau sedetikpun.
“Tiga minggu berlalu. Saatnya mengumpulkan hasil kerja
menanam biji kacang hijau. Raja sudah menunggu bagaimana hasil kerja keras
ketiga pengawalnya tersebut. Maka dipanggillah pengawal pertama. Dengan wajah
sumringah, pengawal pertama menujukkan kacang hijau dalam gelas, terlihat
batangnya panjang menyembul keluar gelas. Lantas raja meyuruh petugas
perlombaan untuk mengukur seberapa panjang batang tersebut. Setelah diukur
ternyata batang kacang hijau itu mencapai 25 sentimeter. Para
pejabat yang sedang menonton bertepuk tangan, raja berdehem, sedang pengawal
pertama tersenyum puas.
“Tiba giliran melihat hasil kerja pengawal kedua. Dengan
wajah yang tak kalah berbinar, sang pengawal kedua memperlihatkan hasil
ketekunannya selama tiga minggu kepada raja. Ditunjukkan gelas berisi kacang
hijau yang sudah menjadi kecambah, batangnya juga panjang hingga menyembul
keluar gelas. Setelah diukur ternyata panjang batang kacang hijau milik
pengawal kedua adalah 30 sentimeter. Penonton bertepuk tangan, pengawal kedua
mengepalkan tangan membayangkan pasti dialah yang akan mendapatkan hadiah dari
sang raja, sedangkan pengawal pertama lesu karena batang kacang hijau miliknya
kalah panjang.
“Lantas, tibalah giliran pengawal ketiga. Berbeda dengan
kedua pengawal tadi yang bersemangat memberikan hasil kerja menanam biji kacang
hijau. Wajah si pengawal ketiga menyemburatkan ekspresi lesu, tidak bergairah.
Sang raja menyuruh pengawal ketiga agar memperlihatkan hasil kerjanya. Akan
tetapi yang diperlihatkan cuma gelas yang di dalamnya hanya ada kapas basah dan
satu biji kacang hijau tanpa ada sesenti batangpun yang tumbuh. Pejabat
kerajaan yang menonton melipat dahi, raja menatap pengawal ketiga lekat-lekat.
Sementara pengawal kedua yang batang kacang hijaunya paling panjang tersenyum
penuh kemenangan.”
“Sekarang Ustadzah Faizah mau bertanya kepada kalian,
sampai di sini berarti siapakah pemenangnya?” Aku mamandangi satu per satu
seisi kelas. Antusias sekali mereka mendengar cerita ini.
“Pengawal kedua, Ustadzah…” Jawab mereka koor. Aku
tersenyum, polos sekali mereka.
“Mengapa kalian menduga bahwa pemenangnya adalah
pengawal kedua?”
Rizki menggangkat telunjuk, “Karena batang kacang
hijaunya paling panjang, Ustadzah.”
“Anak – anak, ternyata bukan pengawal kedua yang
memenangkan perlombaan ini, melainkan yang pengawal ketiga.”
“Kenapa, Ustadzah? Bukankah pengawal ketiga tidak bisa
menumbuhkan satu senti pun batang kacang hijau?” Kali ini Shafira mengangkat
telunjuk. Aku bahagia karena kurikulum yang dibuat sekolah agar murid dapat
berkomunikasi dengan baik sudah nampak berhasil.
“Begini anak-anak, ternyata biji kacang hijau yang
diberikan raja kepada ketiga pengawalnya bukan biji kacang hijau asli, namun
hanya sebuah tanah liat yang dibentuk mirip kacang hijau, hingga ketiganya
tidak dapat mengetahui kalau itu bukan kacang hijau asli.
“Sebenarnya, di hari – hari pertama, ketiga pengawal
sama – sama merawat biji kacang hijau palsu dengan rajin sekali. Pagi, siang,
sore hari disiramilah biji kacang hijau palsu itu. Hingga pada hari ke empat,
ketiga pengawal merasakan ada yang aneh pada biji kacang hijau tersebut. Biji
kacang hijau itu tidak mau menumbuhkan batangnya walau sudah dirawat secara
rutin selama empat hari. Karena tergiur oleh hadiah yang dijanjikan oleh sang
raja, maka pengawal pertama dan kedua, mengganti biji kacang hijau yang palsu
dengan biji kacang hijau yang dibelinya di pasar, tentu saja tanpa ada yang
mengetahui. Sedangkan pengawal ketiga tidak memiliki pemikiran yang sama dengan
kedua temannya, dia terus saja menyirami biji kacang hijau palsu itu tanpa menggantinya.
“Raja tahu pasti kalau biji kacang hijau pemberiaanya
tidak akan tumbuh. Karena sebenarnya, di perlombaan ini raja hanya ingin
melihat seberapa jujur pengawal – pengawal yang dimilikinya. Maka setelah dua
kali dibuat kecewa melihat dua pengawalnya berlaku tidak jujur dengan mengganti
biji kacang hijau karena tergiur hadiah, raja kembali dibuat bangga oleh
pengawal ketiga yang masih tetap jujur, tidak mengganti biji kacang hijau palsu
walau dia yakin dia tidak akan memenangkan perlombaan.
“Dan, pada akhirnya raja memberikan hadiah kepada
pengawal ketiga yang jujur itu dan mengangkatnya menjadi menteri kerajaan.
Sedangkan dua orang pengawal yang tidak jujur diturunkan dari jabatannya.”
Murid-muridku mengangguk-anggukkan kepala, lucu sekali melihatnya.
“Begitulah anak-anak orang yang jujur itu pasti selalu
beruntung, jadi mulai saat ini Ustadzah
kepingin agar kalian selalu berlaku?”
“Jujuuuur….” Kembali mereka mengeluarkan suara koor
dengan penuh semangat.
“Ustadzah Faizah…” Putri mengacungkan telunjuknya.
“Iya, Nak?”
“Minggu depan, cerita lagi ya? Yang lebih seru…” Aku
tercekat mendengarnya, padahal hari ini, usai jam pelajaran ini aku berencana
untuk berpamitan kepada mereka. Aku ingin katakan kepada mereka sebuah salam
perpisahan, namun demi melihat wajah polos yang penuh harap ini, aku
membatalkan ucapan perpisahan itu. Jujur, aku tidak mampu. Mereka belum tahu
bahwa aku akan menikah besok pagi dan akan meninggalkan Surabaya hari minggunya. Kuatkan aku, Tuhan.
***
“Assalamualaikum…” Kuketuk pintu rumahku yang masih
tertutup. Tidak ada jawaban. Kuucapkan salam sekali lagi, berharap si empunya
rumah (Ayah) menjawab salam lalu membukakan pintu untukku. Akan tetapi tetap
saja tidak ada jawaban. Kulihat jam yang menempel di pergelangan tangan kiriku,
sudah jam lima
sore. Tidak biasanya Ayah tidak ada di rumah. Ah, mungkin beliau masih sibuk
mempersiapkan walimah pernikahanku besok pagi. Iseng ku raih ganggang pintu,
lalu menekannya ke bawah. Terbuka. Kenapa tak terkunci? Batinku bertanya. Lelah
sedari tadi di sekolah membuatku malas berfikir kemana Ayah dan mengapa
pintunya tak terkunci. Aku haus, aku ingin minum air dingin yang ada di lemari
es, aku juga ingin merebahkan sejenak tubuhku di atas kasur sekedar melemaskan otot
– otot tubuh yang tegang akibat aktivitas di sekolah tadi. Ku buka lemari es
lalu kuambil botol sirup yang sudah berganti isi menjadi air putih. Tiba – tiba
ekor mataku menangkap ada selembaran kertas di atas meja makan samping lemari
es. Merasa penasaran, aku coba meraih kertas tersebut, aku tersedak melihat
goresan tinta menyusun kalimat di kertas tersebut, ini tulisan tangan Ayah.
Ratih, bagaimana
kabarmu di sana?
Sudah sepuluh tahun kau meninggalkan kami di sini. Jujur, aku rindu sekali
kepadamu. Tanpa kehadiranmu, kami selalu saja merasakan kekurangan. Ratih,
Sabtu besok Faizah akan menikah. Namun aku merasa bersalah karena aku tidak
memberikan pilihan kepadanya. Setelah menikah, dia akan tinggal di Batam,
meninggalkan semua yang dia cintai di kota
ini. Meninggalkanku, meninggalkan Sekolah At-Taqwa yang dia perjuangkan sedari
awal. Aku merasa bersalah, karena setelah dikhitbah dia lebih banyak merenung.
Mungkin dia sangat sedih karena harus meninggalkan At-Taqwa, meninggalkan dunia
pendidikan yang sangat dia cintai.
Ratih, terimakasih
sudah membesarkan Faizah dengan sepenuh kasih sayang. Apakah engkau tahu bahwa
saat ini Faizah tumbuh menjadi perempuan yang tangguh? Semenjak sepeninggalmu,
Faizah selalu berusaha membahagiakanku. Dia tidak ingin mengecewakanku, sebab
itulah dia mengambil keputusan untuk menikah dan tinggal di Batam. Ratih,
apakah engkau tahu bahwa Faizah selalu merindukanmu? Semalam dia
memanggil-manggil namamu dalam tidur. Dia menangis dengan mata terpejam. Dia
ingin bertemu denganmu walau hanya mimpi.
Andaikan kau masih
ada di sini.
***
Kapal-kapal berjajar, berparkir rapi di sisi Dermaga
Batam Centre. Sekelompok merpati berterbangan membelah awan yang menggumpal di
langit. Satu dua kapal bergerak menjauhi pelabuhan, nakhoda kapal membunyikan
klakson menyapa kapal lain, yang di sapa membalas dengan bunyi klakson yang
sama. membuat ramai suasana dermaga. Di sisi timur terlihat hotel dan
apartement yang menjulang tinggi. Belum lagi pemandangan pantai yang luarbiasa
indah dan alami. Tak heran jika Batam semakin diminati turis yang ingin traveling di pulau ini setiap tahunnya.
Dua minggu sudah aku berada di pulau yang berdekatan
dengan Singapura ini. Pernikahanku dua minggu yang lalu berjalan sangat lancar.
Teman-teman di At-Taqwa datang memberikanku do’a barokah. Yang menjadi surprise adalah kedatangan
murid-muridku, mereka berinisiatif untuk datang memberikan kado kepadaku. Aku
tersenyum saat membuka isinya. Rumah yang kutinggali pun lebih dari layak
(kalau tidak disebut mewah). Sejak satu minggu yang lalu, suamiku mulai aktif
menjalankan bisnisnya.
“Dik, aku boleh bertanya sesuatu?” Suamiku memandangiku
serius, menghentikan langkahnya menyusuri pantai, aku yang digandengnya
terpaksa berhenti melangkah. Terpaan angin pantai membuat ujung jilbabku
melambai.
“Tanya apa, Mas?”
“Sebelumnya aku minta maaf jika aku belum bisa menjadi
suami yang pengertian, tapi aku berjanji akan belajar untuk itu”
“Mengapa, Mas berkata seperti itu?” Aku balik memandangi
suamiku, melipat dahi.
“Faizah, aku ini suamimu. Apa yang kau pikirkan adalah
pikiranku, apa yang kau sedihkan itu juga sedihku, kebahagiaanmu adalah
kebahagiaanku. Selama dua minggu kita menikah, aku belum pernah sekalipun
melihat dirimu tersenyum, kau selalu murung. Dan, itu membuatku tersiksa merasa
bersalah.” Terpaan ombak kecil membasahi kaki, memanjakan jari – jari.
“Maafkan aku, Mas.”
“Apa arti At-Taqwa di hatimu?” Demi mendengar pertanyaan
suamiku, aku memandangnya lekat – lekat sembari melipat dahi. Mengapa tiba-tiba
dia menyebut At-Taqwa?
“Maksud, Mas?” Aku melipat dahi.
“Isteriku, sudah kukatakan bahwa sedihmu adalah sedihku.
Melihatmu selalu termangu membuatku gelisah dan selalu bertanya-tanya dalam
hati apa yang terjadi pada dirimu akhir – akhir ini. Karena takut terjadi
sesuatu pada dirimu, akhirnya kemarin aku memutuskan untuk menghubungi Ayah di
Surabaya. Menjelaskan tentang keadaanmu selama dua minggu ini. Dan, dari Ayah
pulalah kudapati bahwa kau rindu At-Taqwa.
“Maafkan aku yang tidak mengerti keadaanmu, tidak
mengerti bahwa kau sangat menyukai pendidikan islam, bertemu anak-anak, bekerja
dengan orang – orang yang sefaham. Tapi mengapa kau tidak mengatakannya sedari
awal? Megapa kau tidak menolak persyaratan yang diajukan oleh Umi untuk tinggal
di sini?” Suara suamiku terdengar tegas dan mantap. Debur ombak
menggulung-gulung di tengah pantai, mulai mengecil saat akan menyentuh bibir
pantai, dan hanya menjadi riak air saat menyentuh kaki.
“Aku takut jika menolak pernikahan kita batal, dan
akhirnya akan mengecewakan Ayah kembali.” Kembali kerudungku di saput angin
lembut. Melambai.
“Hehe, seharusnya kau katakan dari awal bahwa kau tidak
ingin pindah ke Batam dengan alasan ingin mengabdikan diri menjadi guru di
At-Taqwa, aku tidak akan keberatan. Karena aku menyukaimu saat kali pertama aku
memandangmu. Itulah sebabnya aku meminta bantuan Laila untuk mengenalkanku
kepadamu.” Kalimat terakhir suamiku membuat pipiku merona. Dia membalas dengan
senyuman manis.
“Besok, kita pulang…”
“Pulang kemana?” Tanyaku.
“Kemana lagi? Ya, ke Surabaya. Kita akan tinggal di sana. Bukankah kau
merindukan anak-anak? Atau begini saja, di Ayah kan sendirian tinggal di Surabaya. Bagaimana
kalau kita juga tinggal bersama Ayah? Yah, hitung-hitung menemani Ayah di hari
tuanya.”
“Bagaimana dengan bisnismu di sini?”
“Sayang, ini zaman sudah modern, aku bisa memantau
bisnisku di sini lewat internet. Aku akan mengutus beberapa karyawanku untuk
mengelola bisnisku di sini. Semuanya bisa diatur. Yang terpenting engkau
bahagia.” Kupeluk tubuh bidang suamiku dengan sepenuh kegembiraan dan rasa
syukur. Entah, mendengar kalimat suamiku, semangatku mulai bermekaran dalam
hati. Semangat yang hilang semenjak ‘kesepakatan’ itu.
Tuhan, aku tahu kau tak pernah tidur. Kau tak pernah
lelah mengurusi hamba-hamba-Mu, selalu mengetahui dan memberikan segala apa
yang kami butuhkan. Tuhan, terimakasih Kau telah anugrahkan kepadaku keluarga
yang baik, sahabat yang baik, dan murid-murid yang baik.
Tuhan, Engkau
tahu bahwa aku sangat mencintai At-Taqwa, lembaga pendidikan yang tidak hanya
mengajarkan murid-muridnya agar berilmu pengetahuan yang luas, tetapi juga
menanamkan nilai keimanan kepada-Mu agar tumbuh bersemi menjadi insan yang
bertaqwa kepada-Mu. Menanamkan kepribadian sesuai dengan kepribadian Rasul-Mu
yang mulia. Tuhan, saat aku mendengar celoteh cadel mereka, senyum canda
mereka, serta memandangi wajah polos mereka, aku merasa ada sengatan semangat
yang ada di dalam jiwa ini. Sengatan yang membuatku selalu berusaha untuk
menjadi teladan yang baik bagi mereka. Hingga jika ada orang yang bertanya lagi
kepadaku apa arti At-Taqwa di hatiku. Maka, dengan tegas akan kujawab, “Di
sinilah aku merasakan bahagia.”
Surabaya, 16 Oktober 2012